Waisak
merupakan hari suci umat agama Buddha, dimana dilaksanakan pada pertengahan
bulan Mei saat bulan purnama. Perayaan Waisak ini memperingati tiga hal, yaitu
lahirnya Siddharta, pencapaian Agung Siddharta, dan kematian Siddharta. Tiga peristiwa
tersebut dinamakan Trisuci Waisak. Di Indonesia, secara tradisional perayaan
Waisak dilaksanakan secara terpusat di komplek Candi Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah.
patung Buddha |
1.
Pengambilan air berkat dari mata
air (umbul) Jumprit
di Kabupaten Temanggung dan penyalaan obor menggunakan sumber api
abadi Mrapen, Kabupaten Grobogan.
2.
Ritual "Pindapatta", suatu
ritual pemberian dana makanan kepada para bhikkhu/bhiksu oleh masyarakat (umat) untuk memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk melakukan kebajikan.
3.
Samadhi pada detik-detik puncak
bulan purnama. Penentuan bulan purnama ini adalah berdasarkan perhitungan
falak, sehingga puncak purnama dapat terjadi pada siang hari.
Selain tiga hal tersebut juga terdapat pawai, pradaksina dan
acara kesenian seperti penerbangan lampion dll.
Mengapa saya ingin menuliskan tentang Waisak? Karena pada
perayaan Waisak 2013 (25 Mei 2013) ini saya turut menyaksikan acara tersebut. Tapi
hanya pada acara penutupan saja. Jujur, saya memang penasaran dengan
penerbangan lampion pada upacara Waisak. Oleh karena itu, pada saat penutupan
acara Waisak saya datang ke komplek Candi Borobudur guna menyaksikan
penerbangan lampion tersebut.
Ini pertama kali saya menyaksikan perayaan suci agama Buddha.
Simpel aja sih, saya hanya ingin melihat lampion diterbangkan. Tapi sepertinya
malam ini bukanlah hari keburuntangan saya untuk melihat lampion diterbangkan.
Sebab malam itu Magelang dan sekitarnya diguyur hujan yang amat sangat deras.
Akan tetapi saya tidak menyesal lampion tersebut tidak jadi diterbangkan.
Bahkan saya juga tidak menyesal hujan-hujannan di komplek candi tersebut.
Kenapa? Ternyata banyak sekali orang-orang yang ingin melihat
penerbangan lampion dengan cara yang kurang sopan. Ketika para umat Buddhis berdo'a
banyak orang yang memotret dari jarak dekat. Bahkan ketika para umat Buddhis
sedang melakukan pradaksina (keliling candi sebanyak tiga kali) banyak
pengunnjung memasuki altar untuk foto-foto. Sehingga panitia harus
teriak-teriak meminta mereka turun dari altar.
riuh pengunjung non Buddhis di karpet merah |
Saya bisa
menyaksikan semua itu, karena saya dan teman saya berdiri tepat dibelakang
altar. Ya, saya dan teman saya tak sengaja duduk dikarpet merah tempat para
umat Buddhis non Biksu yang datang untuk berdo’a. Jujur saja, andaikan saya tahu
karpet merah itu untuk para umat Buddhis yang datang untuk berdo’a, saya pasti
tidak akan duduk ditempat tersebut.
Kekhusyukan umat
Buddhis pastinya terusik kala itu. Bahkan ketika upacara penutupan yang
dihadiri mentri agama Surya Darma Ali berlangsung riuh seakan berperang
terhadap hujan. Belum lagi ketika para Biksu sedang berdo’a masih aja ada
fotografer alay yang mengambil gambar mereka dari dekat. Saya jadi berfikir,
dikala saya shalat ied tiba-tiba saya dijepret dari jarak dekat atau tepat didepan
saya judud, apa kata hati saya? Kesal bukan main pastinya. Saya yakin itu yang
dirasakan mereka saat itu.
Adalagi yang
heboh. Ketika diumumkan panitia bahwa lampion batal diterbangkan akibat hujan
yang masih lebat, banyak pengunjung yang kecewa bahkan bersorak ramai. Dan
saya? Justru nggak kecewa. Hujan semalam membuat kita sadar, bahwa kedatangan
kita –non Buddhis- di Borobudur tidak hanya sekedar menonton lampion dan lomba
foto sana-sini. Tapi lebih dari itu. ini adalah upacara suci salah satu umat beragama,
warisan leluhur yang pernah Berjaya di Indonesia pada jaman kerajaan Kutai.
Seharusnya kita lebih menghargai mereka. Jika memang ingin melihat prosesi
upacaranya ya dengan cara yang wajar, sesuai dengan aturan yang berlaku.
Minimal mengambil foto dari jarak yang tak menggangu mereka, minimal diam
ketika mereka berdo’a, minimal tertib dan menjaga perilaku hingga acara
selesai. Toh selepas acara panitia juga memperbolehkan pengunjung untuk
mengambil gambar di altar. Saya pun begitu, minta tolong teman untuk berfoto
ketika acara telah selesai.
aku ditengah kerumunan |
Perlu diketahui
juga, mereka para Biksu bukan tontonan yang sedang konser sehingga harus
ditonton dari jarak dekat. Mereka juga bukan barang antic yang perlu dijepret
sana-sini untuk dipamer-pamerkan. Pliss, mereka sedang berdo’a, sama seperti
halnya orang Idul Fitri, Natalan dan Nyepi.
Ya, ini nasihat
untuk kita semua, terutama untuk diriku sendiri. Bagaimana cara kita bersikap
mengikuti upacara adat suatu umat beragama dan bagaimana kita menghargai
prosesi mereka. (=^.^=)
No comments:
Post a Comment