Belakangan ini, saya sedang asyik
belajar mengenai budaya Jawa. Selain karena saya orang Jawa, bagi saya budaya
itu unik sekali. Sangat disayangkan jika kita tidak mau mengenal budaya
sendiri. Tak kenal maka tak sayang. Bagaimana mau mencintai negeri sendiri,
jika tidak mengenalinya dengan baik.
Salah satu budaya Jawa yang menarik buat
saya adalah paribasan Jawi, atau
peribahasa Jawa. Peribahasa atau pepatah merupakan suatu kalimat atau frasa yang
mengandung ungkapan nasihat. Peribahasa Jawa berarti kalimat atau frasa yang
mengandung ungkapan nasihat dalam bahasa Jawa.
Bagi saya, paribasan Jawi ini memiliki makna yang mendalam dan filosofis. Dia
tidak hanya sekedar kalimat atau frasa yang bermakna harfiah saja. Tetapi harus
dipahami secara mendalam untuk benar-benar memahami maksud dari ungkapan
tersebut. Contohnya saja paribasan : gelem jamure emoh watange.
Secara harfiah gelem artinya mau, jamure
adalah jamurnya (tanaman jamur), emoh
adalah tidak mau, dan watange bisa
diartikan batangnya, kulitnya atau bangkainya. Jika di sambung berarti ‘mau
jamurnya, tidak mau batangnya’. Sedangkan secara makna memiliki arti seseorang
yang hanya mau enak-enakan tanpa harus melakukan sesuatu.
Paribasan ini
mengingatkan sebuah kejadian pada tahun 2013 ketika saya sedang mendaki gunung.
Waktu itu dalam kelompok kami terdapat tujuh orang. Tiga perempuan dan empat
laki-laki. Sudah disepakati di awal, bagaimana pun keadaannya kami harus
bersama dan saling bekerja sama.
Tibalah kami di tempat kemah. Sudah
dibagi tugas jika yang laki-laki mendirikan tenda dan yang perempuan memasak.
Entah mengapa salah satu teman perempuan di kelompok kami ini dari awal
berangkat sudah bad mood. Kalau
bahasa gaulnya BT. Sehingga ketika tenda berdiri dia langsung masuk tenda dan
tidak membantu kami untuk masak. Kami semua maklum saat itu. Mungkin dia
kecapekan sehingga tidak memungkinkan membantu kami masak.
Sehingga ketika dia bergabung saat makan
ya kami biasa saja. Kami anggap ini sebagai bentuk saling pengertian di antara
kelompok. Kalau ada yang sakit ya kami toleransi untuk tidak melakukan hal-hal
berat. Setelah makan dia sepertinya sudah sehat. Oleh karena itu kami meminta
dia untuk membersihkan peralatan makan yang kotor. Karena sudah malam dia meminta
untuk membereskan besok saja.
Keesok harinya saat kami akan masak lagi
dia belum membersihkan peralatan tersebut. Lagi-lagi, kami yang membereskannya.
Saat itulah kami curiga dia memang tak mau bekerja sama. Lalu oleh ketua tim
kami dia di nasihatin untuk saling tolong menolong. Sehingga pagi itu dia mau
membantu memasak.
Ternyata nasihat teman kami ini hanya angin
lalu untuk dia. Ketika pendakian kami sampai pada klimaks, yaitu menuju puncak.
Teman saya itu tidak ikut. Alasannya takut nggak kuat. Karena banyak rombongan
lain yang saat itu berada di sekitar tempat kemah, kami berani untuk
meninggalkan dia di tenda. Sebab, kami naik puncak pukul 01.00 dini hari.
Kami memberi pesan ke dia untuk menjaga
tenda baik-baik. Kalau tidak keberatan kami meminta dia untuk sedikit
membereskan tenda dan mencari air. Juga berharap nanti ketika kami semua turun
dia mau memasakkan untuk kami. Dia pun mengangguk sambil mengantarkan kepergian
kami menuju puncak.
Malang tak dapat di tolak. Pagi itu
kawasan gunung tempat kami mendaki ‘dikunjungi’ hujan. Tidak deras tapi cukup
membuat kami basah. Sehingga, setelah matahari terbit kami berbondong-bondong
untuk turun. Sampai tempat kemah kurang lebih pukul 09.00 pagi. Kami berharap
sampai bawah teman kami ini menghidangkan segelas teh untuk menghalau dingin
akibat basah kuyupan hujan.
Tetapi hanya angan belaka jika sampai
tempat kemah kami mendapat sambutan baik. Sebab, begitu sampai tempat kemah
tenda kami bocor dan banyak barang yang basah. Air untuk masak tidak ada. Otomatis
segelas teh pun tak ada. Dan teman kami itu, asyik-asyik tiduran didalam tenda.
Sungguh, rasanya ingin marah saat itu
juga. Saat kami ajak dia untuk mengambil air dia menolak dengan alasan kakinya
sakit. Akhirnya kami kembali disibukkan oleh banyak hal. Beberapa teman kami
mengambil air, ada yang menjemur barang yang basah dan ada yang memanaskan air
dengan persediaan air seadanya. Padahal kami semua capek setelah turun dari
puncak.
Kami semua bekerja. Hanya dia yang
ogah-ogahan. Duduk santai di samping teman yang lagi memasak. Benar-benar gelem jamure emoh watange ini teman saya. Maunya enak-enak
saja. Nggak mau kerja dan pengertian dengan teman kelompoknya. Semoga teman-teman
semua tidak memiliki sifat seperti teman saya ini. Mau enak tapi nggak mau
susah. Jadi kalau kerja tim harus saling tolong menolong ya.
Oya, tulisan ini disertakan dalam kontes
GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati. Semoga bermanfaat. Terimakasih.
waduh...
ReplyDeletekenapa? :D
Delete