Ini
adalah kali pertama aku ngebolang sendirian ke kota orang, tepatnya pada
November 2010 saat erupsi Merapi. Ya, saat itu kampusku tercintah meliburkan
diri selama dua minggu karena kondisi Jogjakarta saat itu tidak kondusif untuk
belajar akibat meletusnya Merapi. So, tanpa buang-buang waktu, aku putuskan
untuk meninggalkan Jogjakarta untuk mencari kedamaian ke Barat. Bandung dan
Jakarta pilihanku saat itu. Memang ini bukan pertama kali aku maen ke Bandung
atau Jakarta, tapi untuk perjalanan sendirian ke dua kota itu, ini baru pertama
kalinya. Alasanku simpel, karena di dua kota itu aku punya kenalan dan saudara.
Jadi tanpa buang-buang waktu segeralah aku memesan tiket kereta api untuk
perjalanan ke Barat untuk mencari kitab suci, eh salah mencari kedamaian,
hehehe. Dengan rute pertama Bandung.
Sendirian?
Mungkin banyak orang tak percaya, aku melakukan perjalanan sendirian ke kota
orang, naik kereta api, sendirian pula. Mungkin karena aku orang yang lahir,
besar dan hidup sampai sekarang ini di Jogjakarta, menjadikanku teragukan untuk
melancong sendirian, dengan alasan aku tak pernah keluar dari Jogjakarta.
Justru karena aku orang Jogjakarta yang sudah hidup tahunan di Jogjakarta
itulah yang menjadikanku ingin sekali melancong ke kota orang. Ingin merasakan euphoria kehidupan kota lain yang belum
pernah aku cicipi.
Hidup seperti
roller coaster, penuh tantangan. Beberapa orang takut, beberapa orang
menikmatinya.
Perjalanan
berawal dari stasiun Tugu Jogjakarta. Malam yang dingin pun turut menghantar
kepergianku meninggalkan Jogjakarta menuju ke Barat. Ini kedua kalinya aku
bepergian dengan kereta sendirian, yang pertama saat aku dari bandung juga, pas
main kerumah teman. Tapi ini juga menjadi perjalan naik kereta api sendirian
pertamaku meninggalkan Jogja dan pertama kali naik kereta ekonomi. Ya, aku
menaiki kereta ekonomi dengan dalih biar ngirit dan pengen banget ngrasain naik
kereta api ekonomi, jadi sudah bisa ditebak, banyak sekali penjaja ‘nyanyi’
disepanjang gerbong. “mijoonn.. mijooonn….” “tisu basah..tisu kering.. tisu
tisuu…”, hahahhaa, aku hanya tertawa mendengarkan logat mereka menjajakan
dagangannya. Hal yang tak pernah kutemui saat menaiki kereta eksekutif.
Mataku
tak bisa terpejam, suasana riuh selalu menjadi penghalang tidurku. Namun ada
juga orang bisa terlelap ditengah keramaian tersebut. Enaaakknya yang bisa
tidur. Disaat aku mulai lelap, tiba-tiba ada sedikit keributan di beberapa
bangku depanku. Kalau tak salah dengar mereka rebutan kursi. Maklum di tahun
2010 dulu, belum ada pemberlakuan satu orang satu kursi. Sehingga orang tanpa
tiket kursipun masih bisa menaiki kereta api dengan tulisan ditiket ‘tanpa
kursi’. Sebab pemberlakuan tiket kereta ekonomi satu orang satu kursi baru
diberlakukan pada awal 2011. Uugggghhhhhh, sedikit nyesel kenapa aku pake
kereta ekonomi.
Tepat
pukul 09.00 pagi sampailah sudah saya di stasiun Hall Bandung. Waktu itu aku
dijemput oleh mbak kos Hasti –adek angkatanku SMA yang kuliah di ITB-. Kala itu
adalah pertama kalinya aku naik angkot. Sungguh ‘ndeso’ atau ‘ngota’ ya,
senengnya bukan kepalang naik angkot. Sampai sampai kalo ke Bandung keasyikan
naik angkok. Maklum, di Jogja kagak ada angkot cuy, hehehehe.
Selama
di Bandung, jelas sudah mainnya ke Mall, Factory Outlet, atau ke pasar baru,
soalnya dulu belum kepikiran buat naik gunung dan main-main di alam sih.
Hahahahaa. Terus ikutan Hasti kuliah di ITB. Huaaaa, jadi keinget mantan.
Mantan ada nggak yaaaaa… hihihihi. Oh ya, ada yang unik lho di ITB ini. Kalau
temen-temen main ke ITB, coba deh perhatikan dari awal gerbang hingga akhir,
pasti simetris. Jadi dari gerbang utama ITB masuk ke area ITB, kanan dan kiri
ITB terdapat gedung yang sama, letak pohon yang sama –meski ukurannya berbeda-
, letak tempat duduk dan tempat sampah yang sama pula. Simetris pokoknya mah.
Terus ditengah-tengah jalan tersebut, terdapat semacam kolam ikan –tapi waktu
aku kesana nggak ada ikannya- yang didasar kolam tersebut tersusun keramik alas
kolam not tangga lagu. Kata Hasti itu not tangga lagu Indonesia Raya.
Wooowwwwww keren banget, udah tatanan letaknya simetris, sepanjang jalan di
hiasi kolam not tangga lagu pula.
gerbang masuk ITB |
Di
Jakarta aku menemui teman yang belum pernah aku temui –lhoh- Ya, dia adalah mantan
pacar temenku, dan kami kenalan lewat jejaring sosial bernama FB, dan berlanjut
dalam obrolan SMS. Awalnya aku ragu, ketemu dengan orang yang belum kenal
banyak, di Jakarta pula. Padahal di Jakarta aku juga punya banyak temen dan
juga saudara. Ntah kenapa aku begitu pengen ketemu perempuan cantik itu dan percaya
dia orang baik, dan ternyata dia memang orang baik. Begitu kami bertemu,
ternyata dia orangnya friendly
banget. Alhamdulillah.
Setelah
ngobrol sebentar di stasiun Gambir kami pun menuju salah satu stasiun kecil di
Jakarta. Jadi stasiun kecil ini untuk trayek kereta api seperti halte bus
sebagai angkutan umum disamping angkot, bus dan trans Jakarta. Ketika ditanya
teman mau naik ojek, taksi atau bajaj ke stasiunnya, aku langsung dengan
semangat minta naik bajaj. Maklum, biasanya di Jakarta naiknya motor atau mobil
dirumah saudara. Sungguh itu pengalaman pertama naik bajaj, biasanya cuma liat
di TV di sinetron Bajaj Bajuri, kini aku bisa merasakan naik Bajaj. Brumm..
brummm.. brummm. Jujur rugi banget ke Jakarta nggak nyobain bajaj. Hahahaha.
Sambil
naik bajaj sambil menikmati suasana malam Jakarta, sambil pula melihat Monas. Begitu
sampai di salah satu stasiun –lupa nama stasiunnya- kembali aku dibuat
tercengang. Pertama, harga tiketnya
murah banget, kalo nggak salah untuk ekonomi Rp 1.500 dan Rp 2.500 untuk
ekonomi AC –tahun 2010 lhoh- . Kedua,
banyak sekali peminatnya, karena kata temen lebih cepat naik kereta daripada
naik bus atau trans –jadi inget Kenji di film Ninja Hatori kalo sekolah naik
kereta- sehingga didalam kereta jelas banget desak-desakannya, bahkan ada yang
nekat diatas gerbong saking penuhnya didalam gerbong. Terus yang ketiga, berhenti disetiap stasiun cepet
banget, jadi kalo uda mau turun wajib mingggir biar nggak bablas distasiun
berikutnya. Gilak, gilak, dan gilak batinku kala itu. Kata teman ini baru salah
satu bentuk kejamnya Jakarta -,- nggak tahu aturan dan menghalalkan segala
cara.
Sungguh,
ibukota nan megah itu terlihat sangat berbeda jika dilewati lewat jalanan umum
–biasanya naik mobil lewat tol guys- tampak sekali berbeda. Dibalik anggunnya
gedung tinggi, dibalik megahnya lampu hotel, dan dibalik mewahnya ornament jalanan, ternyata masih banyak
hal yang ‘biasa’ saja. Tidak ada mobil mewah, tapi motor dan sepeda. Tidak ada
rumah mewah, tapi rumah sederhana dan biasa saja. Hal ini terlihat ketika aku
mulai memasuki kawasan kontrakan temenku tersebut.
Kawasan
yang biasa saja, bukan komplek atau perumahan. Ketika aku tanya sewa kontrak
pertahunnya, alamaak, di Jogjakarta bisa buat sewa kontrakan yang rumahnya
mewah abis. Sedangkan di Jakarta, hanya dapat rumah biasa saja, bahkan tanpa
alas keramik hanya tegel biasa. Sungguh kini aku mulai merasakan begitu
kejamnya Jakarta. Begitu pula ketika aku berada dirumah saudaraku. Kawasan
rumah ‘biasa’ saja dibalik apartemen mewah jalan Sudirman. Sungguh ironis.
Perjalanan
selanjutnya, aku diajak temanku main ke TMII –Taman Mini Indonesia Indah-
karena yang paling dekat dengan kontrakan temanku. Awalnya mau diajak ke Mall,
tapi aku udah mabok Mall di Bandung cuy –walau nanti akhirnya mampir Mall juga-
jadi mending main ditempat yang lainnya. dan dibawah ini foto-foto di TMII :
rumah adat Sulawesi Selatan |
Ini juga pertama kali aku naik angkot
di Jakarta. Beda sekali dengan Bandung, angkot Jakarta lebih barbar, rebutan
penumpang dan nyetirnya ngawur. Bahkan kendaraan di Jakarta nggak tolerir sama
pejalan kaki. Saat kami nyebrang, hampir saja ditabrak. Ohh semakin terasa
kejamnya Jakarta.
Sesuatu yang
baik, belum tentu benar.
Sesuatu yang benar, belum tentu baik.
Sesuatu yang bagus, belum tentu berharga.
Sesuatu yang berharga/berguna, belum tentu bagus.
Sesuatu yang benar, belum tentu baik.
Sesuatu yang bagus, belum tentu berharga.
Sesuatu yang berharga/berguna, belum tentu bagus.
Tak
selamanya yang kita anggap indah itu indah, tak selamanya pula yang kita anggap
buruk itu buruk. Ya, Jakarta sang Ibu Kota Negara yang selalu kita lihat
kemewahan dan keindahannya ternyata dibalik itu masih ada perjuangan hidup yang
banyak dilakukan banyak orang. Dari para penjaja, sopir angkot, tukang bajaj
dll. Tak sedikit dari mereka bukan warga Jakarta, mungkin saja mereka perantau
yang mengadu nasib di Ibu Kota yang nasibnya belum beruntung. Bekerja dengan
keras hanya untuk bertahan hidup, karena ada sebagian dari mereka yang malu
untuk pulang kampung karena belum jadi orang kaya. Diiihh gengsi amat sih.
Kadang
aku bersyukur, aku bisa hidup ditengah-tengah Jogkarta yang selalu memberikan
nuansa kerinduan. Ya ampuunn aku merindukan suasana Jogjakarta, merindukan
rumahku, dan apa-apa yang ada di Jogjakarta, bisikku dalam hati ketika
menjelang hari terakhir aku di Jakarta. Begitu meninggalkan stasiun Pasar Senen
untuk kembali ke peradaban Timur, aku pun berdo’a semoga Jogjaku telah aman.
Berdosa sekali aku, Jogjaku berduka akunya main-main. Padahal banyak teman yang
bergerilya menjadi relawan bencana erupsi merapi. Maafin aku Jogjaa…. >.<
Dan
inilah sekelumit ceritaku dari Barat yang menjadikan awal aku ngebolang.
Perjalanan
seribu batu bermula dari satu langkah - Lao Tze
Where
the next destination???? Follow me. (=^.^=)Molmol
No comments:
Post a Comment