Kemarin
malam (12/10/13) saya terheran-heran melihat bungkusan berisi sajadah
tergeletak di kursi makan di dapur. Sebenarnya lebih tepat disebut karpet,
karena ukurannya lebih besar daripada sajadah pada umumnya. Mungkin karena
bercorak masjid sehingga saya bilang itu sajadah.
Saya
cium baunya sepertinya sajadah itu masih baru. “ini sajadah siapa Buk?” tanya
saya pada ibu yang sedang mempersiapkan makanan untuk acara ronda bapak nanti
malam. “untuk kado nikahan anaknya temen ibu,” jawab ibu saya. “masak nikahan
dikado sajadah si Buk?” protes saya. “emang harusnya apa?” “ya kayak teapot, bad cover, sprei atau piring atau apalah gitu yang dibutuhkan
pengantin baru,” jawab saya. “ya nggak papa kan sajadah? Memberi kado itu kan
sama halnya do’a. Kita memberi tidak hanya sekedar memberi, tapi ada sebuah
harapan dari apa yang kita berikan. Ibu kasih sajadah kan berharap walau pun
pengantin baru tetap ingat shalat,” jelas ibu saya panjang lebar.
Mendengar
penjelasan ibu, saya hanya terdiam seksama. Biasanya kita memberi kado untuk
pernikahan seseorang seperti teapot, bad cover, sprei, piring, atau hiasan
dinding dengan corak pengantin. Tetapi ibu saya berbeda, beliau anti mainstream sekali dengan penjelasan yang
luar biasa. Kado itu do’a. Sehingga saya berfikir, memberi kado itu tidak hanya
memberi sesuai apa yang diinginkan seseorang dengan maksud membuat seseorang
itu bahagia. Atau memberi sesuatu seperti pada umumnya, seperti pernikahan
harus teapot, gelas, sprei dll.
Tetapi ada yang lebih dari itu, yaitu memberi sesuatu dengan sebuah pengharapan
yang luar biasa. Dimana harapan itu menjadi do’a si pemberi untuk seseorang
yang diberi tersebut.
Subhanallah.
Saya mendapat pelajaran berharga dari ibu saya malam itu. Terimakasi ibu :*
(=^.^=)
Bantul
13 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment