Tak selamanya kita membeli buku karena menemukan
buku tersebut, akan tetapi buku yang menemukan kita untuk dibeli….
Pernyataan
diatas merupakan pengalamanku ketika ada sebuah buku mencuat diantara tumpukan
buku yang merayu mataku untuk dilihat. Buku itu seakan ingin dibeli olehku.
Nadrenaline : Catatan Petualangan Nadine Chandrawinata, judul buku tersebut.
Dari judulnya sudah terlihat bahwa buku tersebut karya Nadine Chandrawinata,
Putri Indonesia 2005. “Nadine bikin buku petualangan?” pikirku saat itu. Maka
berpindahlah buku itu dari rak ke tanganku. Tanpa pikir panjang, setelah
membaca sedikit sinopsisnya aku pun segera pergi kekasir dan segera
membayarnya. Mungkin ini pertama kalinya aku membeli buku tanpa ‘ngincer’
sebelumnya, beli secara tiba-tiba tanpa direncanakan. Mungkin karena ada kata
‘petualangan’ yang membuatku tertarik, karena saat itu darah petualanganku lagi
berdesir-desirnya, hohohoho.
Oh
ternyata kak Nadine suka petualangan ya. Tapi disini aku tak membahas secara
lebih isi buku kak Nadine, karena tulisanku ini memang bukan untuk membahas isi
buku tersebut. Akan tetapi karena buku tersebut saya jadi menanti film ‘Sagarmatha’
yang diceritakan kak Nadine disalah satu bagian buku ‘Nadrenalin’ itu. Dimana didalamnya
kak Nadine cerita dia melakukan syuting untuk sebuah film berjudul ‘Sagarmatha’
di India dan perbatasan Nepal, tepatnya di Pegunungan Himalaya. Salah satu
gunung impian yang ingin aku daki. “oh kayak apa yaa filmya” batinku saat itu.
Sama
halnya saat membeli buku ‘Nadrenaline’, aku pun menonton film ‘Sagarmatha’ juga
seperti terpanggil dari film tersebut. Karena, aku membeli buku ‘Nadrenaline’
sudah akhir 2012 lalu, sehingga aku pun lupa untuk menanti ‘Sagarmatha’
tersebut. Sehingga ketika ‘Sagarmatha’ akan dirilis di bioskop, saya pun merasa
terpanggil untuk menonton film tersebut. Dan aku pun baru ingat jika itu adalah
film yang aku nantikan setelah selesai membaca buku ‘Nadrenaline’. Seakan-akan
buku dan film ini janjian buat merayuku, hahahahhaaha
Buku 'Nadrenaline' kak Nadine :) |
Nah,
film ‘Sagarmatha’ ini unik sekali kawan. Begitu kesanku ketika selesai menonton
film tersebut. Kalian jangan membayangkan akan menonton film dengan berbagai
macam adegan, dialog, dan banyak pemain yang terlibat. Kalian juga jangan
membayangkan akan menonton film seperti film pada umumnya. ‘Sagarmatha’ ini
berbeda. Ditonton harus pakai hati. Karena jika tidak, aku yakin seyakin
yakinnya, komentar kalian akan film ini adalah film nggak jelas. Tetapi justru
itulah seninya film yang hanya di bintangi dua orang kakak cantik, kak Nadine
Chandrawinata dan kak Ranggani Puspandya.
Kalian
juga jangan berfikiran jika ini adalah film pendakian, karena adegan pendakian
dalam film ini sedikit sekali, hanya beberapa kilas saja. Ini film tidak hanya
pendakian semata, Pendakian ke Himalaya, hanyalah tujuan (impian dan harapan)
dari jalannya cerita tersebut. Sedangkan inti dari film ini adalah proses
menuju pendakian itu sendiri. Sehingga aku lebih suka mengatakan film ini
adalah sebuah film perjalanan hati. Dimana perjalanan ini dikemas dalam rangka
pendakian ke Himalaya dengan berbagai macam konflik kehidupan. Sebuah
perjalanan pendakian yang tidak hanya untuk menggapai impian dan harapan saja.
Seperti yang ditulis dalam sinopsis filmnya, dalam cerita ini ada sebuah
konflik yang membawa kita memaknai seputar kehidupan akan cinta dan kedewasaan.
Mendaki tidak hanya sekedar naik turun gunun, tapi
ada hati yang bekerja, ada emosi yang berlaga, dan ada sejuta makna yang
berbicara…
Biar
kalian tidak bingung, akan aku ceritakan sedikit mengenai isi film tersebut.
Dikisahkan dua orang sahabat, Shila yang diperankan kak Nadine dan Kirana yang
diperankan kak Ranggani, yang telah bersahabat dari kuliah mempunyai mimpi
untuk menaiki Himalaya. Gunung tertinggi sedunia, dengan puncak tertingginya
Everest. Sagarmatha sendiri adalah sebutan untuk Everest dalam bahasa Nepal,
yang artinya ‘head of the blue sky’. Untuk menggapai impian itu mereka pun
menjelajahi India hingga perbatasan Nepal. Sambil menunggu izin pendakian
mereka ke Himalaya, mereka berdua pun bikin semacam proyek untuk mereka
sendiri. Shila menulis cerpen dan Kirana mengambil gambar kehidupan disana.
Di
tengah perjalanan untuk menggapai impian tersebut (menuju puncak Himalaya)
munculah konflik antara Shila dan Kirana. Seperti yang dilansir dalam
sinopsisnya, pertentangan pun muncul satu persatu. Shila merasa Kirana semakin
ambisius untuk menggapai puncak Himalaya, sedangkan Kirana merasa Shila semakin
misterius. Sehingga ketika mereka sudah hampir mencapai puncaknya, Shila merasa
bahwa sampai puncak Himalaya bukan lah impian yang dia cari. Impian Shila
adalah pulang kerumah dan bersama keluarga. Impian ke Himalaya adalah impian
masa lalu, bukan impian dia sekarang. Akhirnya Shila pun memutuskan untuk turun
dan meninggalkan Kirana.
Meninggalkan
Kirana? Eiitsss lebih tepatnya dia tidak meninggalkan siapa-siapa, dia hanya
meninggalkan mimpi masa lalunya. Lhoh? Bingungkan? Disinilah klimaks berakhir
dan menjawab semua jawaban atas alur cerita yang dibikin maju mundur
(menceritakan masa lalu kemudian balik lagi ke masa sekarang). Bahwa pada
dasarnya Shila ke Himalaya tidak dengan Kirana, dia hanya sendiri yang ditemani
oleh bayang-bayang Kirana. Sebab Kirana telah meninggal beberapa tahun yang
lalu saat mereka berdua mendaki Gunung Merapi. Dimana di puncak Garuda (puncak
Merapi) saat itu Shila berjanji dengan Kirana akan menggapai mimpi mereka untuk
sampai ke Himalaya.
Puncak hanyalah bonus, tujuan sebenarnya adalah
kembali kerumah dengan selamat
Cukup
bingung juga sebenarnya merangkai cerita film ‘Sagarmatha’ besutan sutradara
Emil Heradi tersebut. Film ini sekilas seperti film dokumenter saja, film
perjalanan. Dimana film tersebut sangat miskin dialog, bahkan pemainnya pun
hanya dua orang saja, kak Nadine dan kak Ranggani. Dengan membawa alur
maju-mundur yang membingungkan, seolah-olah film tersebut memang mengajak
penonton untuk berfikir dan berimajinasi sendiri. Sehingga lama kelamaan ketika
puzzle-puzzle adegan telah terangkai, kita akan faham tujuan dari film
tersebut. Jika bingung dan penasaran, tonton aja dibioskop yaa.. hehehehe
Ada
dua hal yang aku sukai dalam adegan film tersbut. Pertama, ketika Kirana
mengatakan “mengapa kita harus mengikuti
aturan masyarakat tentang waktu?”. Ya, dalam kehidupan ini masyarakat
selalu mematok seseorang berdasarkan waktu. Dia harus kuliah umur sekian,
menikah umur sekian, melakukan ini itu disaat umur sekian dll. Didalam film
ini, seakan-akan kita dibukakan sebuah pertentangan bahwa itu bukan tolak ukur
seseorang untuk melakukan banyak hal. Benar kan? Karena aku yakin, setiap orang
sudah punya serentetan hal untuk dikerjakan dalam hidupnya. Dan orang yang
bijak, dia melakukan sesuatu bukan karena patokan umurnya, tapi karena
kesiapannya.
Yang
kedua, dalam adegan pendakian ketika Kirana mengatakan “jangan takut sendiri, karena pada dasarnya setiap orang akan berjalan
sendiri”. Bukankah tercapainya impian kita karena kita sendiri yang
meraihnya kan. Toh keputusan yang kita ambil, kita sendiri yang memilih, bukan
karena orang lain. Orang lain hanyalah mediator yang dikirim Tuhan untuk
memberikan pilihan yang akan kita pilih untuk menjalani kehidupan. Sehingga,
pada dasarnya diri sendirilah nahkoda hidup kita ini.
Pada
dasarnya setiap orang punya impian, tapi tak selamanya impian yang kita
inginkan bukan terbaik untuk kita. Sehingga akan muncul keragu-raguan saat
impian itu ada didepan mata. Seperti impian Shila mendaki Hilamaya. Dan, hanya
kita sendiri yang dapat memilih, ambil atau tinggalkan. Begitulah sekelumit
cerita dari film ‘Sagarmatha’ yang telah aku tonton pada hari kamis 28 November
2013. Semoga saja bisa di ambil manfaatnya. Terimakasih (=^.^=)
NB
: Dapat mention dari Kak Nadine dan Kak Angie lhoooo, makasih kakak:
Big thank u "
|
:) RT
|
Jogjakarta, 29 Novermber
2013
No comments:
Post a Comment