Setelah
kejadian di Lawu, membuat aku berpikir ulang kembali tentang pendakian. Dulu
sempat berfikir, bahwa keinginan mendaki hanyalah sekali seumur hidup.
Lama-lama kelamaan dalam diri ini muncul keinginan untuk mendaki seluruh gunung
di Jawa Tengah (nggaya total ini). Rasa penasaran akan keindahan alam yang
ditawarkan, ternyata melunturkan seluruh rasa takut. Hingga akhirnya tawaran
untuk mendaki merapi tak dapat ditolak.
Teman
bilang, “santai aja Mol, nggak usah bawa barang banyak, soalnya kita tiktok”.
Ini adalah pertama kali dengar istilah tiktok dalam pendakian. Tiktok adalah
mendaki gunung yang tanpa ngecamp (nginep), jadi naik pagi, sore udah turun.
Biasanya tiktok dilakuin di gunung-gunung yang ketinggiannya kurang dari 3000
mdl, seperti merapi yang memiliki ketinggian 2911 mdpl. Dengan hanya membawa daypack isi minum, camilan dan mantel,
oke merapi, aku akan mulai mengenalmu dengan tiktok.
Berangkatlah
kami berempat, aku, Dimas, mas Reksa dan mbak Isna pada hari Minggu tanggal 23
Desember 2012 pukul 07.00 dari Jogja. Sampai basecamp Merapi di Selo, Boyolali kira-kira pukul 08.40. Setelah
istirahat sejenak kami pun mulai tracking
pukul 09.00.
Perjalanan
dimulai dari menyusuri jalanan aspal yang kiri kanan masih terdapat rumah.
Dimana diujungnya masih terdapat tempat singgah terakhir sebelum memasuki areal
pertanian. Ditempat itu dapat ditemui beberapa warung yang siap menyajikan
makanan. Karena kami belum sarapan, maka kami sempatkan sejenak untuk memesan
mie goreng untuk menambah tenaga. Kurang dari setengah jam, kamipun selesai
sarapan dan melanjutkan perjalanan.
Dari
New Selo, di tempat ini tepatnya diatas warung-warung tersebut terdapat tulisan
New Selo besar sekali (semacam tulisan Holywood gitu), kami harus melewati ladang-ladang
petani dengan track yang cukup susah
(menurut aku). Jalanan yang licin, menghambat langkah kecilku untuk
menapakinya, salahku juga aku mendaki memakai sandal.
Perbatasan
ladang petani dan hutan ditandai dengan gapura hijau seperti shelter kecil. Sampai situ rupanya sudah
ngosngosan, hhahaha payah, padahal hanya bawa daypack aja. Perjalanan pun berlanjut menuju pos-pos. Di merapi ini
kira-kira terdapat tiga pos sebelum menuju pasar bubrah. Antara pos I sampai pos II
tidak lah terlalu jauh. Di pos II atau orang biasa menyebut dengan watu gajah,
waktu sampai sana aku pun clingak-clinguk cari-cari batu yang kayak gajah.
Enggak ada ternyata -_____-“
Dengan
ngos-ngosan, kami pun melanjutkan perjalanan. Menyebar senyum kepada setiap
pendaki yang lewat. Menyapa sebentar untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan.
Setiap pendaki
adalah keluarga, kata seorang teman kepadaku
Pada
akhirnya, pukul 12.00an sampailah sudah kami di pasar bubrah. Aku amati
baik-baik tempat ini. Kenapa bisa dinamakan pasar bubrah ya? Hmmm, bau mistis
pun sepertinya mulai tercium >.< Di pasar bubrah ini kami mendirikan
tenda untuk menaruh barang-barang. Sebab dengan medan puncak pasir, diharap
kami hanya membawa barang-barang yang diperlukan saja. Sambil makan siang kami
menikmati pesona alam yang ditawarkan merapi melalui pasar bubrah ini. Dari
pasar bubrah tampak terlihat puncak garuda yang telah hancur akibat letusan
2010 lalu.
Pukul
14.00 kami mulai muncak. Tampak dengan gagah puncak garuda merapi berada
didepan mata. Ya Allah snaggupkah aku, dengan medan pasir seperti itu?. “Ayo
Mol, kamu harus bisa, katanya pengen ke Semeru, takhlukin yang ini dulu” kata
Dimas terhadapku.
Ya,
aku dulu pernah bilang ke temanku ini, kalau aku punya keinginan untuk mendaki
Semeru, yang entah kapan aku bisa mengunjunginya. Sembari menapaki pasir-pasir
merapi, aku pun berdo’a, semoga suatu saat aku bisa ke Semeru, Gede, Pangrango
dan Argopuro ya Allah. Aamiin.. *nggak nyambung blas
Maju
selangkah mundur dua langkah. Selalu begitu. Apalagi aku pakai sandal, sungguh luar
biasa perjuangan menuju puncak merapi ini >.< medan pasir ini nggak
berlangsung lama, kira-kira 30 menit melalui pasir, medan selanjutnya adalah
bebatuan. Sempat kami tersesat, karena tiba-tiba kabut mulai turun dan jarak
pandang pun semakin pendek. Alhamdulillah, beberapa menit kemudian kabut hilang
dan kami pun menyusuri kembali batu-batuan tersebut.
Tapi
keberuntungan kami ternyata harus berakhir. Disaat hati bergembira melihat
bibir kawah (kurang lebih 100m dari bibir kawah) gerimis, kabut dan angin pun
secara kompak turun bersamaan. Allah, bagaimana ini. Jarak pandang kurang dari
1m, kami nggak bawa mantel ke atas. Sehingga kami pun mencari-cari tempat
berlindung dibalik bebatuan dipinggir-pinggir.
Kurang
dari 10 menit gerimis pun berhenti, kabut sudah mulai menghilang, dan cuaca
cerah seketika. Tapi ketakutan kami ternyata melumpuhkan niat kami meneruskan
ke puncak. Takut tiba-tiba gerimis dan kabut dating lagi. Dan akhirnya kami
memutuskan untuk menuruni puncak. Karena medannya pasir, kami pun turun seperti
bermain SKI (olahraga yang disalju-salju itu). Cepet banget, nggak sampai
setengah jam sudah sampai pasar bubrah lagi. Hahahaha, kegembiraan tak dapat
kami bendung lagi. Gelak tawa mewarnai perjalan turun dari puncak. Iyaa,
meskipun puncak tak dapat kami gapai, tapi kebersamaan dan kebahagiaan telah
menyertai perjalanan kami.
Pukul
16.00 kami turun dari pasar bubrah menuju baseamp untuk kembali pulang kerumah.
Iyaa, rumah adalah tujuan sebenarnya.
Puncak hanyalah
bonus, tujuan sebenarnya adalah kembali kerumah dengan selamat
No comments:
Post a Comment