Kita penantang impian
Di atas awan kita kan menang
Kita penakluk dunia
Di atas awan kita kan menang, menang
(Nidji – Di Atas Awan)
Kalau denger
lagu Nidji tersebut, mengiangatkan ku akan pendakian di lawu. Menantang dan menegangkan.
Sebab pada dasarnya, sehabis pendakian Sumbing, aku masih rada trauma mendaki
lagi. Capeknya, pegel-pegelnya, dan bikin kulit muka ngelupas. Tapi, yang
namanya sudah cinta dengan alam, apapun resikonya hajar saja. Maka, ketika di
ajak Dimas kakak angkatan di kampus untuk mendaki Lawu, akunya mau-mau aja. Dan
kali ini tantangannya bukan hanya masalah pegel-pegel. Apakah itu?
Pendakian di
Lawu ini termasuk pendakian masal, karena kami mendaki dengan personil 16
orang. Ada Dimas, mas Reksa, Andank, Wenny, Ian, Ani, sepupu Ian, mas Wisnu, mas
Wayan, mbak Vera, mas Ghoib, mbak Galuh, mbak Rizka, dan dua orang lagi yang
aku lupa namanya :p
Kami berangkat
dari Jogja Jum’at (16 November 2012) sebelum dhuhur, dan sampai basecamp
Cemorosewu sorean, karena kami mampir masjid untuk shalat jum’at dan menunggu
teman di Solo dulu. Saat hampir mendekati basecamp kami disambut hujan deras
dan kabut, sehingga membuat perjalanan terhambat. Habis ashar barulah kami
sampai di basecamp.
Karena masih
hujan, akhirnya kami putuskan untuk mulai mendaki sehabis maghrib. Jadi kami
leha-leha dulu di basecamp sambil menikmati teh hangat dan sepiring pecel yang
rasanya uuueeenaaak tenan –jadi kangen basecamp Lawu, Cemorosewu-
Ternyata hujan
pun enggan berhenti ketika maghrib telah lewat. Akhirnya, mau tak mau, kami pun
tetap mendaki meskipun masih hujan. Dan ini adalah pengalaman pertamaku mendaki
malam hari dan hujan, juga pengalaman pertamaku mendaki membawa carrier –nggaya-
Trek lawu sangat
berbeda dengan trek di Sumbing. Kalo di Sumbing tanjakannya tinggi-tinggi, kalo
di Lawu pendek, malah hampir menyerupai tangga. Tapi tetep aja, meskipun mudah,
buatku tetep bikin capek. Ditambah malam yang dingin dan hujan. Lengkap sudah
bikin aku pengen ngeluh-ngeluh –emang dasarnya tukang ngeluh akunya-
Lebih baik diam, daripada bicara hanya
mengeluh –ibukku-
Karena pendakian
masal, maka break –istirahat- kami
lebih banyak. Dan yang paling menegangkan dan menyeramkan, adalah ketika break aku sempat tindihan.
Astaghfirullah. Aku hanya cerita ke Wenny kalo aku sempat tindihan. Sama dia
aku disuruh banyakin do’a dan nggak melamun. Dia juga selalu menyemangatiku
disetiap perjalanan –makasih Wenny :*
Beberapa jam
kemudian, sampailah kami di pos satu. Ada yang unik di Lawu ini. Di setiap pos
terdapatlah sebuah bangunan dari kayu seperti pondokan berupa warung. Sehingga
pendaki bisa mampir sebentar istirahat, makan, minum dan tiduran juga.
Kebetulan di Lawu ini dari jalur Cemorosewu terdapat lima pos dan empat dari
kelima pos tersebut terdapat warung pondokan yang dikelola warga setempat,
yaitu pos I, II, IV dan V. Pikirku saat itu, kuatnya mereka bawa belanjaan sampai
atas, akunya aja udah ngosngosan -,-
Perjalanan dari
basecamp ke pos I sangatlah lama, karena memang jauh. Dari pos satu menuju
pos II serta dari pos II ke pos III lumayan cepat karena dekat. Dan kami
ngecamp –bikin tenda- di pos III, karena ketika sampai pos III sudah pukul 12
malam.
Keesok harinya
kami menikmati pagi di pos III. Bikin sarapan dan foto-foto menjadi agenda
utama kami. Kira-kira pukul 08.00 kami baru melanjutkan perjalanan.
narsis dengan sebagian temantim :D |
Ada yang aneh,
ada yang ganjal, begitu perasaanku. Aku merasa selepas dari pos III perasaanku
nggak enak. Aroma mistis sempat kurasakan. Tapi aku biasa saja seolah tak
terjadi apa-apa. Hingga aku merasa lemes dan sempat nggak kuat jalan karena
pundakku serasa beban mengganjal. Lalu tiba-tiba Andank menawarkan diri untuk
membawakan carrier ku, tapi sebagai
gantinya aku harus bawa trasbag
sampah. Lagi-lagi aneh, meskipun aku tak membawa beban tapi tetap saja pundakku
merasa berat. Bahkan ketika kami break di salah satu tempat yang luas sambil
foto-foto, pundakku tetap merasa ada beban, seperti ada yang narik dan nindih.
Astaghfirullah >.<
Lebih baik diam, daripada bicara banyak
prasangka
Perjalanan pun
berlanjut ke pos IV. Sepanjang perjalanan ke pos IV, sempat aku melihat
banyak sajen. Hmmmm, bau-baunya udah nggak enak. Tapi aku nggak mau su’udzon.
Cuma do’a aja. semoga kami semua selamat. Sampai pos IV hujan deras. Waktu
itu, aku, Ani, sepupu Ian dan mas Reksa yang sudah sampai pos empat duluan.
Disana kami berteduh di sebuah bangunan yang lagi-lagi penuh sajen dekat dengan
sendang yang kala itu nggak ada airnya.
Disana ada
bapak-bapak yang sedang duduk dip agar bangunan itu. Sembari menunggu
teman-teman yang masih dibelakang, aku, Ani dan sepupu Ian –yang masih lupa
namanya- ngobrol dengan bapak tersebut. Bapak itu bilang, kalau beliau adalah salah
seorang yang sering berkunjung ditempat itu untuk berdo’a. Selama kami ngobrol,
ada yang janggal, si bapak tersebut nggak pernah mau natap aku. Sampai aku heran,
kenapa setiap aku ajak bicara bapaknya menatap ke arah lain, seakan-akan aku
nggak ada. Allah >.<
Setelah
rombongan datang dan istirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan. Dan
lagi-lagi si bapak nggak mau ngliat aku pas aku pamit. Yasudahlah, mungkin
wajahku mirip seseorang yang bapak itu nggak suka, pikirku kala itu. Ketika
meninggalkan pos IV dan menuju pos V atau pos terakhir pendakian hujan
berhenti. Alhamdulillah
Sampai pos V
kami istirahat agak lama. Karena pos ini merupakan pos terakhir sebelum
puncak. Pos V biasanya disebut sebagai ‘warung mbok Yem’, konon katanya
warung mbok Ye ini adalah warung tertinggi :o :o Kenapa mbok Yem? Karena nama
pemiliknya katanya mbok Yem, hahaha
Dari tempat mbok
Yem kami diantar oleh hujan. Jadi menuju puncak dalam kondisi hujan. Sedih
memang, harus bertemu puncak hujan. Jadi nggak banyak ngebanci kamera >.<
bahkan ketika kami iseng poto malah hampir disambar petir. Astaghfirullah.
Yaudah lah ya, nggak foto-foto di puncak. Huff
Turun pun kami
masih ditemani hujan hingga pos empat. Sampai pos III, barulah reda. Saat itu
yang didepan cuma kami berempat, aku, mbak Riska, Weny, dan teman mbak Riska
–masih lupa namanya- sedangkan yang lain dibelakang. Dari pos III, entah
gimana cerita aku kececer dari mereka bertiga. Mau berhenti juga bingung,
karena sendirian. Yaudahlah, aku tetep melaju terus sampai aku nggak sadar
tiba-tiba terjungkal. Astaghfirullah, kayak ada yang ngedorong, tapi belakang
nggak ada siapa-siapa. Dan perasaanku semakin kuat ketika pundakku semakin
terasa berat >.<
Aku pun berusaha
lari mengejar Weny, mbak Riska dan temannya, tapi kakiku berat, dan jalan pun
menjadi seakan-akan terseret-seret. Allah, lindungi aku cepat temukan aku dan
teman-temanku, do’aku dalam hati. Do’aku terkabul, beberapa saat kemudian, aku
menemukan rombongan yang berhenti juga. Disitu terlihat mbak Riska dan
temannya, tapi mana Weny. Kata mb Riska udah duluan. Kami pun turun bertiga
hanya dengan satu senter dan lampu HP, karena rombongan belakang masih break
lama dibelakang sana.
Saat kami
bertiga turun, tiba-tiba saya merasa ada yang ngedorong lagi. Akhirnya saya
jatuh untuk kedua kalinya. Yang ini lebih parah, karena aku jatuh seperti
salto. Aku masih nggak apa-apa, cuma mringis-mringis nahan sakit, soalnya mau
nangis juga malu. Kamudian kami lanjut jalan lagi. Saat jalan itulah dibelakang
ada dua laki-laki yang mengikuti, aku tahu laki-laki dari suaranya. Karena pas
pengen ngecek siapa gerangan kepalaku serasa berat untuk memutar. Yasudahlah,
aku menganggap aman ada dua orang dibelakang saya. Mereka pun juga sempat
mengobrol denganku.
Beberapa saat
kemudian, aku merasa kayak ada yang ngedorong lagi. Jatuh untuk ketiga kalinya.
Astaghfirullah. Masak sih kedua laki-laki dibelakangku ini yang ngedorong.
Lagi-lagi kepalaku sukar untuk memutar melihat kebelakang. Bahkan laki-laki itu
nggak nolong aku, malah bilang “kamu kok jatuh terus sihh, manja”. Hah? Mereka
bilang gitu. Aku pun diam dan segera menyusul mbak Riska dan temannya yang
sudah berjalan –mereka nggak tahu aku terjatuh- . sesekali aku mengobrol dengan kedua lelaki dibelakangku yang tak tahu bagaimana rupanya.
Begitu sampai
pos II, kepalaku terasa ringan dan ketika aku menoleh kebelakang kedua
laki-laki itu sudah tidak ada. Aku sapu mataku melihat sekeliling tidak ada
tanda-tanda orang datang bersamaan dengan kami. Astaghfirullah. Siapa mereka?
Sampai pos II sudah ditunggu Weny. Disitu kami istirahat dan makan. Aku pun
cuma diam atas peristiwa tadi. Yang bikin aku tercengang teman mbak Riska malah
bilang “Dek, kamu kok sepanjang jalan tadi diem aja” pliss tadi aku ngobrol sama orang dibelakang mbak >.<
Perjalanan dari
pos II menuju pos I kami tidak berhenti. Kami langsung melaju menuju
basecamp. Entah ada yang salah dengan penglihatanku atau nggak, sepanjang
perjalanan aku seperti melihat keramaian disekelilingku, tapi ketika ku lihat
dengan seksama tidak ada. Ah mungkin perasaanku aja. karena aku lagi capek.
Tepat pukul
21.00 barulah kami berempat sampai basecamp. Sedangkan 12 orang lainnya masih
dibelakang. Begitu sampai basecamp mbak Riska dan temannya langsung pulang.
Jadi tinggal aku sama Weny yang di basecampBeberapa menit kemudian menyusulah
sudah mas Ghoib dan mbak Galuh. “Ni Mol, kerirmu,” kata mas Ghoib. “lhoh kok
bisa di Mas?” sahutku heran. Kata mas Ghoib tasku ditemuin di pos empat,
perasaan tasku dibawa Andak, tapi kata Andank dia nggak merasa dititipi –aku
tanya pas dia sudah sampe basecamp- Terus aku tadi nitip siapa? >.<
Setelah aku
mandi –daripada bengong nunggu teman yang lain- kira-kira pukul 22.45an
rombongan lain datang. Karena aku paginya ada acara, mau nggak mau aku harus
pulang. Jadi Dimas mau nggak mau ikutan pulang. Jadi yang pulang ada empat
orang, sedang yang lainnya masih tinggal disitu karena capek. Sebelum kami
pulang, Andank sempet bilang “mbak kamu tadi kenapa? Kok aku panggil nggak
denger, padahal aku ada dibelakangmu”. Kapan Andank manggil aku? -,-
Diperjalanan
pulang Dimas barulah cerita, kalo tadi dia ngeliat aku ‘diikuti makhluk lain’.
Ya, Dimas katanya bisa ngeliat ‘makhluk lain’ yang kasat mata. Ya, akupun
ngrasa, cuma aku selalu khusnudzon saja. Berasa seolah nggak ada apa-apa. Dia
baru ngelepas pundakku setelah mau memasuki basecamp. Pantesan pundakku berat,
lha wong yang ‘ngganduli’ dua. Astaghfirullah dosa apa aku ini. Padahal do’a
dan shalat nggak lupa. Benar-benar syok aku waktu itu ~
Dari peristiwa menegangkan
ini aku sadar, bahwa dimanapun kita berada, di alam sekalipun, kita harus ingat
Tuhan. Karena Dialah sebaik-baiknya penolong dan pelindung dari apapun.
“….Hasbunallah Wa ni’mal Wakil ~ Cukuplah
Allah (menjadi penolong) bagi kami. Dan Dialah sebaik-baik pelindung”QS. Ali
Imron : 3
No comments:
Post a Comment