Pernah
suatu ketika, saat aku masih SMP, ditanya oleh seorang teman “apa cita-citamu?”
langsung aku jawab dengan tegas “menjadi penjelajah dunia”. Seorang penjelajah
yang melancong ke berbagai negri sambil menikmati alam. Ah, itu cita-cita jaman
dulu, ketika aku belum tahu apa-apa, bahkan ketika aku mengucapkannya pun
banyak ditertawakan. Cita-cita yang aneh kata teman-temanku.
Namun,
melalui cita-cita itulah aku berkeinginan untuk menjadi seorang penikmat alam.
Menikmati dan mengagumi ciptaan Tuhan yang maha indah. Maka lewat gambar lah
aku mengenal alam, dari pantai, gunung, air terjun, dan hutan-hutan. Akan
tetapi, jika hanya lewat gambar seakan belum seutuhnya aku mengenal alam. Hingga
beberapa tahun kemudian aku mulai menjelajahi alam bernama pantai. Menikmati
alam lewat deburan ombak, sunrise dan sunset, dan panorama perpaduan langit dan
laut. Melalui pantai aku mulai jatuh cinta terhadap alam, hingga aku
berkeinginan mengenal alam yang lain. Laut, gunung, air terjun dan hutan-hutan.
Mencintai alam
seperti aku mencintai Tuhanku. Karena Dia lah, aku jatuh cinta terhadap apa
yang diciptakan-Nya.
Berawal
dari Bromo, aku mengenal alam dalam bentuk lain, yaitu gunung. Keinginan untuk
menjelajahi gunung pun semakin membara dalam jiwa selepas dari Bromo. Seakan
kerinduan bertemu dengan sahabat alam ini sudah tak tertahankan. Dan pada
akhirnya, diberilah kesempatan aku berkenalan dengan Sumbing pada tanggal 2-23
September 2012.
Bersama
Hasti, Farid dan Osel, aku mulai petualangan pendakian pertamaku. Mengapa
pertama, padahal sebelumnya sudah berkunjung ke Bromo. Karena Sumbing lah aku
merasakan pendakian yang sebenarnya. Kalau di Bromo kita menuju lokasi
menggunakan jip, jalan dari tempat parkir menuju kaki anak tangga pun tak
seberapa jauh, menaiki anak tangga pun tak ada setengah jam sampai. Sehingga
aku mengatakan Bromo bukan gunung pendakian pertamaku, tetapi dia adalah
sahabat gunung pertamaku.
Mendaki
gunung adalah keinginan sejak lama. Sehingga aku benar-benar bersemangat
menanti hari petualanganku ini. Saking semangatnya sampai aku bingung mau bawa
apaan. Karena masih baru -bahasa gaulnya newbie-
dalam dunia pendakian, maka aku hanya disuruh membawa daypack. Jadi aku nggak bawa tas gede yang tinggi-tinggi itu, yang
saat itu aku baru tahu tas gede itu bernama carrier.
Daypack hanya aku isi air minum 1,5
liter dua botol, makanan dan sleeping bag. Alamaaaaakkk tenyata beratnya,
gimana rasanya bawa carrier ya.
>.<
Kami
bertiga, aku, Farid dan Osel berangkat dari Jogja ke Wonosobo –kami nanjak
melalui jalur Wonosobo- pukul 08.00 pagi. Sedangkan Hasti langsung menuju
Wonosobo, karena dia dari Bandung. Sampai di basecamp yang notabene rumah
penduduk, kami segera melalukan registrasi, menulis laporan kapan mulai nanjak
dan kapan turunnya. Hal ini untuk keamanan para pendaki jikalau nanti terjadi
apa-apa di perjalanan nanti. Walaupun harapan besar tentu saja tidak terjadi
apa-apa.
bukankah
meminimalis resiko adalah salah satu bentuk kedisiplinan?
Pukul
11.00 pendakian pun dimulai. Baru beberapa meter jalan aku udah kepayahan.
Padahal dibanding Hasti, Osel dan Farid bawaanku lah yang paling ringan. Tetapi
karena baru pertama kali nanjak membawa beban berat wajarlah akunya udah
ngos-ngosan. Hohohohoho. Dan bentar-bentar minta berhenti, begitu juga dengan
Osel. Maklum, aku dan Osel sama-sama masih newbie,
sedangkan Hasti dan Farid adalah Mahasiswa Pecinta Alam di kampusnya. Jadi
wajar mereka berdua begitu kuatnya.
Begitu
rumah penduduk mulai lenyap dari pandangan mata, mulailah memasuki jalanan
setapak. Aku pikir jalanan setapak itu jalanan yang ada konbloknya, ternyata
jalanan setapak di gunung itu adalah jalanan yang dibuat manusia di gunung
untuk dilewati. Mulai tampak terlihat vegetasi alam hutan Sumbing yang beraneka
warna, berpadu serasi membentuk keindahan bagi mata yang memandang. Subhanallah
kerennya. Kata Hasti ‘mbak di puncak masih ada yang lebih bagus lho”, waahh,
udah nggak sabar untuk sampai puncak.
bersama Hasti :) |
Lelah,
jelas. capek, banget. Semangat, harus. Itu yang aku alami di sepanjang
perjalanan pendakianku. Bukit demi bukit kami lewati. Jalanan terjal berbatu
kami lalui. Sesekali kami berhenti untuk sekedar minum dan mengabadikan gambar.
Dan sepanjang perjalanan pula, Hasti selalu memberi semangat kepadaku, “ayo
mbak, kamu pasti bisa”. Iya Has, kataku sambil ngos-ngosan.
Begitu
menjelang sore, tampak senja di ufuk barat menjingga diantara balutan birunya
langit. Subhanallah, inilah sunset di gunung. Indahnya nggak kalah dengan
sunset di pantai. Nggak tahu harus bilang apa kecuali rasa syukur atas nikmat
Tuhan ini. Dapat menikmati indahnya alam ditempat tinggi diiringi musik alam
gesekan dedaunan dan hembusan angin.
Sambil
menikmati senja, kami pun memasak mie. Aku pun tak melewatkan kesempatan untuk
ikutan meracik masakan di gunung ini. Pertama kali guys ngeliat peralatan masak
ala gunung, makanya wajib dicoba-coba. Hehehehee. Dan sungguh nikmatnya mie
ini, entah nikmat karena kelaparan, atau karena dimakan di tempat yang indah,
padahal di kosan juga sering makan mie -,-
Selesai
makan, kami pun melanjutkan perjalanan. Tak terasa hari sudah gelap dan dingin
pun mulai menyelimuti kami, bbeerrrrrr. Akhirnya aku pun memakai jaket, karena
aku orangnya nggak tahan dingin. Sebenarnya dari awal nanjak udah krasa
dinginnya, tapi sama Hasti dilarang pakai jaket. Kata dia biar kita adaptasi
dulu dengan suhu gunung, jaket dipakai kalau udah benar-benar dingin. Karena
ini sudah dingin banget –menurutku- maka aku pun segera memakai jaket.
Sedangkan mereka bertiga –Hasti, Farid dan Osel- masih bertahan dengan kaosnya.
Wooooowwwwww :o
Kegelapan
dan dingin pun menemani perjalanan kami. Hmmmm, ternyata begini rasanya naik
gunung malam-malam. Ketika aku menatap langit, subhanallah bintang-bintang
bertaburan begitu banyaknya. Capek pun seketika hilang. Padahal aku
berkali-kali bilang ‘kapan sampainya? Kapan bikin tendanya? Kapan
berhentinya?’. Farid dan Hasti pun menjawab dengan sabar “bentar lagi”. Ohh
ternyata ini bonusnya orang naik gunung. Tak bosan aku terus-terusan menatap
langit penuh bintang itu, rasa syukur sekali lagi aku hembuskan bersamaan
dengan nafasku
Dan bertasbihlah
kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam
bintang-bintang (diwaktu fajar) (QS. An-Najm 49)
Tepat
pukul 21.00 kami pun sampai di pos III. Disinilah kami akan ngecamp, dibawah
tepat puncak yang sudah terlihat oleh mata. Sungguh nggak kebayang, tidur dalam
tenda, ditengah hutan, diiringi musik alam yang khas, dan beratapkan taburan
bintang. So sweeetttt :)
Pukul
03.00 kami pun bangun untuk melanjutkan perjalanan ke puncak. Bbeerrrrr dinginnya
semena-mena pemirsa >.< Tenda pun kami tinggal di pos III, karena kata
Farid perjalanan menuju puncak treknya lumayan berat, jadi hanya barang-barang
penting seperti dompet, HP, kamera dan bekal saja yang kami bawa.
Ditemani
gelap, dingin, dan bintang-bintang kami pun melangkah meninggalkan pos III. Kata
Farid lagi, diperkirakan dari pos 3 menuju puncak kurang lebih 2 jam, sehingga
kami dapat menikmati subuh dan sunrise di puncak. Akan tetapi, 2 jam
berlangsung kami pun tak menemukan puncak juga. Padahal kami pun sudah berusaha
jalan secepat mungkin. Bahkan aku hampir putus asa untuk melanjutkan
perjalanan.
Ternyata
belakang tenda yang kami kira puncak hanyalah bukit biasa. Karena puncak yang
sesungguhnya masih berada di belakang bukit tempat kami menginap semalam. Masya
Allah, misterius sekali Sumbing ini. Sehingga ketika hari mulai terang
tampaklah puncak yang sesungguhnya masih menjulang tinggi dibalik bukit yang
kami lewati. Oleh karena itu, kami subuh di tengah padang ilalang.
Setelah
subuh perjalanan pun dilanjutkan. Disinilah kekompakan kami di uji. Farid yang
mengejar sunrise dia berlari mendahului kami yang tertatih dibelakang. Dia
ingin sekali cepat-cepat samapi puncak. Hasti yang sedkit emosi karena ulah
Farid membuat dia harus sabar berkali-kali lipat. Aku dan Osel yang hampir
putus asa untuk tak melanjutkan ke puncak. Sempat Hasti dan Osel adu mulut
sejenak karena Osel menyuruh kami berdua –aku dan Hasti- duluan karena dia
ingin berhenti sejenak dan nggak tahu mau lanjut puncak atau nggak. Sedangkan
Hasti ingin semua sampai puncak. Dengan sedikit dongkol, Hasti pun mengajak aku
tetap melanjutkan ke puncak.
Mendaki gunung
tidak hanya sekedar menikmati keindahan dan sampai puncak. Akan tetapi
kebersamaan juga merupakan point penting selama pendakian.
Sebernarnya
aku sudah hampir menyerah, tapi melihat Hasti yang begitu menyemangatiku, aku
pun kembali semangat melanjutkan perjalanan ini. Apalagi, matahari mulai
bersinar, panaroma indah sudah mulai disuguhkan kepada kami. Tampak dibelakang
Gunung Sindoro berdiri tegak, padang ilalang kami lewati dengan ceria, dan
puluhan edelweiss tampak mekar menyemangati kami. Aku pun mulai semangat
kembali, meski keluhan sering aku lontarkan. Harus sampai puncak, batin ku kala
itu.
Kira-kira
pukul 06.30 kami berdua sampai di puncak. Begitu sampai puncak, aku pun
menangis tak tertahankan. Sujud syukur aku panjatkan kepada Rabb ku, yang
menciptakan Mahakarya begitu indahnya ini. Subhanallah wal hamdulillah.
Akhirnya aku bisa menaklukkan puncak Sumbing ini. Meskipun begitu sampai puncak
aku tepar.
Hasti pun bercerita bahwa gunung Sumbing yang terletak di Jawa
Tengah ini merupakan gunung tertinggi ke-3 se-Jawa setelah Semeru dan Slamet,
dengan ketinggian 3.371 mdpl. Allah, pekikku ketika Hasti bilang seperti itu.
Dia pun menyalamiku dan mengucapkan selamat atas keberhasilanku menaklukan
puncak tertinggi ke-3 se-Jawa ini. Sungguh tak mengira puncak pertama yang aku
taklukan adalah puncak tertinggi ke-3 se-Jawa. Sujud syukur kembali aku
persembahkan pada Rabb ku.
tepar sejenak sebelum menikmati puncak :D |
perasaan gembira bisa sampe puncak :D |
Kadang kita tak
pernah mengira, apa yang kita perjuangkan ternyata mempunyai nilai yang lebih,
dan itulah bonus dari sebuah perjuangan
Setelah
istirahat sejenak, aku pun menikmati puncak dengan seksama. Aku pandangi satu
persatu pemandangan indah yang disuguhkan Tuhan kepada hamba-Nya yang mensyukuri
segala ciptaan-Nya. Tampak jelas pula Sindoro berdiri tegak diseberang,
seakan-akan bilang “Ida kapan-kapan kunjungi aku ya”. Hahahahahaa.
Deskripsi
singkat mengenai puncak Sumbing ini, terdapat kawah nun jauh dibawah yang
tergolong masih aktif. Sehingga bau belerang kadang menggelitik hidung kami.
Kemudiaan lautan awan bisa kita nikmati seksama. Di puncak ini juga terdapat
banyak tebing yang dapat dipanjati. Akan tetapi aku tak memanjat, aku sudah
terlalu capek. Hanya Hasti dan Farid yang menaikinya. Sedangkan aku dan Osel
hanya foto-foto dibawah. Oya, si Osel akhirnya menyusul kami ke puncak. Dia sampai
puncak kurang lebih setengah jam setelah aku dan Hasti sampai puncak.
Kurang
lebih dua jam kami berfoto dan menikmati panaroma puncak Sumbing dengan lautan
awan yang indah, pukul 09.00 kami putuskan untuk turun. Biasanya para pendaki
kalau turun lari. So, aku pun dia ajari Hasti untuk lari. Awalnya takut, sebab
sering kali oleng, sedangkan samping kanan banyak lubang. Walau akhrinya aku
keperosok juga. Huuuaaaaa sakit >.< Memar pun menjadi oleh-oleh spesial
ini.
Untuk menjadi
bisa kadang butuh pengorbanan dan pengorbanan itu kadang menyakitkan tetapi
hasilnya memuaskan
Tidak
hanya di puncak aku dikejutkan oleh indahnya alam ini. Ketika turun kebawah pun
aku disuguhi edelweiss yang bermekaran dengan indahnya, kemudian padang ilalang
yang luas serta pohon unik yang berada ditengah padang ilalang. Karena
edelweiss nggak boleh dipetik, maka aku hanya mengambil edelweiss yang rontok dibawah.
Sebenarnya tetep nggak boleh si mengambil apapun yang ada di gunung, tapi
karena pengen yaudah aku cuma ambil yang di bawah, yang penting nggak metik
aja. hohohohoho membela diri.
Jangan pernah
mengambil apapun yang ada di alam kecuali gambar dan jangan meninggalkan apapun
yang ada di alam kecuali jejak
Sesampai
di tenda kurang kebih pukul 11.00, kami istirahat sebentar sambil menikmati
tuna kaleng dan oseng jamur. Wowww. Selang beberapa menit Hasti sudah harus
turun kebawah, karena takut nggak dapat bus untuk balik ke Bandung. Sedangkan
kami bertiga –aku, Farid dan Osel- meneruskan istirahat yang disusul packing.
Kurang lebih pukul 14.00 kami segera meninggalkan pos III –yang kemudian
diragukan ini pos 3 atau bukan setelah tahu pos ini jauh dari puncak-
Perjalanan
turun tak serumit perjalanan nanjak. Tapi tetap aja bagiku masih sulit,
ditambah memar yang kubawa dari atas sana. Hampir nyerah lagi sebenarnya
–kebanyakan ngeluh ini akunya- tapi tetap berusaha jalan, meskipun
tertatih-tatih. Sampai basecamp pukul 18.30.
Di
basecamp yang notabene rumah penduduk tersebut kami disuguhi makanan dan
minuman. Ya Allah baiknya. Kami tak dipungut biaya sepersen pun. Oleh karena
itu sama Farid bapak pemilik rumah disalamin amplop berisi uang dari kami.
Awalnya bapaknya nolak-nolak, tapi tetep dipaksa Farid sampai bapak tersebut
mau menerima. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar pukul 20.00 kami pun segera
pamit dan melanjutkan perjalanan ke Jogja.
Akhirnya,
usai sudah petualangan pertamaku mendaki gunung. Pulang-pulang semua badan dari
atas sampai bawah pegel nggak kira-kira. Muka kering dan bibir pecah-pecah.
Duuuh, jadi macam badut ini muka -,- Tapi semua itu terbayar dengan rasa puas,
senang dan bahagia. Ternyata mendaki gunung itu bikin nagih, sejuta rasa
pendakian pertama ku ini. So, tunggu pengalaman saya selanjutnya. (=^.^=)
No comments:
Post a Comment