Wednesday, September 11, 2013

Sumbing : Sejuta Rasa Pendakian Pertama

Pernah suatu ketika, saat aku masih SMP, ditanya oleh seorang teman “apa cita-citamu?” langsung aku jawab dengan tegas “menjadi penjelajah dunia”. Seorang penjelajah yang melancong ke berbagai negri sambil menikmati alam. Ah, itu cita-cita jaman dulu, ketika aku belum tahu apa-apa, bahkan ketika aku mengucapkannya pun banyak ditertawakan. Cita-cita yang aneh kata teman-temanku.

Namun, melalui cita-cita itulah aku berkeinginan untuk menjadi seorang penikmat alam. Menikmati dan mengagumi ciptaan Tuhan yang maha indah. Maka lewat gambar lah aku mengenal alam, dari pantai, gunung, air terjun, dan hutan-hutan. Akan tetapi, jika hanya lewat gambar seakan belum seutuhnya aku mengenal alam. Hingga beberapa tahun kemudian aku mulai menjelajahi alam bernama pantai. Menikmati alam lewat deburan ombak, sunrise dan sunset, dan panorama perpaduan langit dan laut. Melalui pantai aku mulai jatuh cinta terhadap alam, hingga aku berkeinginan mengenal alam yang lain. Laut, gunung, air terjun dan hutan-hutan.

Mencintai alam seperti aku mencintai Tuhanku. Karena Dia lah, aku jatuh cinta terhadap apa yang diciptakan-Nya.

Berawal dari Bromo, aku mengenal alam dalam bentuk lain, yaitu gunung. Keinginan untuk menjelajahi gunung pun semakin membara dalam jiwa selepas dari Bromo. Seakan kerinduan bertemu dengan sahabat alam ini sudah tak tertahankan. Dan pada akhirnya, diberilah kesempatan aku berkenalan dengan Sumbing pada tanggal 2-23 September 2012.

Bersama Hasti, Farid dan Osel, aku mulai petualangan pendakian pertamaku. Mengapa pertama, padahal sebelumnya sudah berkunjung ke Bromo. Karena Sumbing lah aku merasakan pendakian yang sebenarnya. Kalau di Bromo kita menuju lokasi menggunakan jip, jalan dari tempat parkir menuju kaki anak tangga pun tak seberapa jauh, menaiki anak tangga pun tak ada setengah jam sampai. Sehingga aku mengatakan Bromo bukan gunung pendakian pertamaku, tetapi dia adalah sahabat gunung pertamaku.

Mendaki gunung adalah keinginan sejak lama. Sehingga aku benar-benar bersemangat menanti hari petualanganku ini. Saking semangatnya sampai aku bingung mau bawa apaan. Karena masih baru -bahasa gaulnya newbie- dalam dunia pendakian, maka aku hanya disuruh membawa daypack. Jadi aku nggak bawa tas gede yang tinggi-tinggi itu, yang saat itu aku baru tahu tas gede itu bernama carrier. Daypack hanya aku isi air minum 1,5 liter dua botol, makanan dan sleeping bag. Alamaaaaakkk tenyata beratnya, gimana rasanya bawa carrier ya. >.<
perbedaan bawaan kami ^^v
Kami bertiga, aku, Farid dan Osel berangkat dari Jogja ke Wonosobo –kami nanjak melalui jalur Wonosobo- pukul 08.00 pagi. Sedangkan Hasti langsung menuju Wonosobo, karena dia dari Bandung. Sampai di basecamp yang notabene rumah penduduk, kami segera melalukan registrasi, menulis laporan kapan mulai nanjak dan kapan turunnya. Hal ini untuk keamanan para pendaki jikalau nanti terjadi apa-apa di perjalanan nanti. Walaupun harapan besar tentu saja tidak terjadi apa-apa.
bukankah meminimalis resiko adalah salah satu bentuk kedisiplinan?

Pukul 11.00 pendakian pun dimulai. Baru beberapa meter jalan aku udah kepayahan. Padahal dibanding Hasti, Osel dan Farid bawaanku lah yang paling ringan. Tetapi karena baru pertama kali nanjak membawa beban berat wajarlah akunya udah ngos-ngosan. Hohohohoho. Dan bentar-bentar minta berhenti, begitu juga dengan Osel. Maklum, aku dan Osel sama-sama masih newbie, sedangkan Hasti dan Farid adalah Mahasiswa Pecinta Alam di kampusnya. Jadi wajar mereka berdua begitu kuatnya.

Begitu rumah penduduk mulai lenyap dari pandangan mata, mulailah memasuki jalanan setapak. Aku pikir jalanan setapak itu jalanan yang ada konbloknya, ternyata jalanan setapak di gunung itu adalah jalanan yang dibuat manusia di gunung untuk dilewati. Mulai tampak terlihat vegetasi alam hutan Sumbing yang beraneka warna, berpadu serasi membentuk keindahan bagi mata yang memandang. Subhanallah kerennya. Kata Hasti ‘mbak di puncak masih ada yang lebih bagus lho”, waahh, udah nggak sabar untuk sampai puncak.
bersama Hasti :)
Lelah, jelas. capek, banget. Semangat, harus. Itu yang aku alami di sepanjang perjalanan pendakianku. Bukit demi bukit kami lewati. Jalanan terjal berbatu kami lalui. Sesekali kami berhenti untuk sekedar minum dan mengabadikan gambar. Dan sepanjang perjalanan pula, Hasti selalu memberi semangat kepadaku, “ayo mbak, kamu pasti bisa”. Iya Has, kataku sambil ngos-ngosan.
Begitu menjelang sore, tampak senja di ufuk barat menjingga diantara balutan birunya langit. Subhanallah, inilah sunset di gunung. Indahnya nggak kalah dengan sunset di pantai. Nggak tahu harus bilang apa kecuali rasa syukur atas nikmat Tuhan ini. Dapat menikmati indahnya alam ditempat tinggi diiringi musik alam gesekan dedaunan dan hembusan angin.
bersama senja di Sumbing
 Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman)

Sambil menikmati senja, kami pun memasak mie. Aku pun tak melewatkan kesempatan untuk ikutan meracik masakan di gunung ini. Pertama kali guys ngeliat peralatan masak ala gunung, makanya wajib dicoba-coba. Hehehehee. Dan sungguh nikmatnya mie ini, entah nikmat karena kelaparan, atau karena dimakan di tempat yang indah, padahal di kosan juga sering makan mie -,-

Selesai makan, kami pun melanjutkan perjalanan. Tak terasa hari sudah gelap dan dingin pun mulai menyelimuti kami, bbeerrrrrr. Akhirnya aku pun memakai jaket, karena aku orangnya nggak tahan dingin. Sebenarnya dari awal nanjak udah krasa dinginnya, tapi sama Hasti dilarang pakai jaket. Kata dia biar kita adaptasi dulu dengan suhu gunung, jaket dipakai kalau udah benar-benar dingin. Karena ini sudah dingin banget –menurutku- maka aku pun segera memakai jaket. Sedangkan mereka bertiga –Hasti, Farid dan Osel- masih bertahan dengan kaosnya. Wooooowwwwww :o

Kegelapan dan dingin pun menemani perjalanan kami. Hmmmm, ternyata begini rasanya naik gunung malam-malam. Ketika aku menatap langit, subhanallah bintang-bintang bertaburan begitu banyaknya. Capek pun seketika hilang. Padahal aku berkali-kali bilang ‘kapan sampainya? Kapan bikin tendanya? Kapan berhentinya?’. Farid dan Hasti pun menjawab dengan sabar “bentar lagi”. Ohh ternyata ini bonusnya orang naik gunung. Tak bosan aku terus-terusan menatap langit penuh bintang itu, rasa syukur sekali lagi aku hembuskan bersamaan dengan nafasku

Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (diwaktu fajar) (QS. An-Najm 49)

Tepat pukul 21.00 kami pun sampai di pos III. Disinilah kami akan ngecamp, dibawah tepat puncak yang sudah terlihat oleh mata. Sungguh nggak kebayang, tidur dalam tenda, ditengah hutan, diiringi musik alam yang khas, dan beratapkan taburan bintang. So sweeetttt :)

Pukul 03.00 kami pun bangun untuk melanjutkan perjalanan ke puncak. Bbeerrrrr dinginnya semena-mena pemirsa >.< Tenda pun kami tinggal di pos III, karena kata Farid perjalanan menuju puncak treknya lumayan berat, jadi hanya barang-barang penting seperti dompet, HP, kamera dan bekal saja yang kami bawa.

Ditemani gelap, dingin, dan bintang-bintang kami pun melangkah meninggalkan pos III. Kata Farid lagi, diperkirakan dari pos 3 menuju puncak kurang lebih 2 jam, sehingga kami dapat menikmati subuh dan sunrise di puncak. Akan tetapi, 2 jam berlangsung kami pun tak menemukan puncak juga. Padahal kami pun sudah berusaha jalan secepat mungkin. Bahkan aku hampir putus asa untuk melanjutkan perjalanan.

Ternyata belakang tenda yang kami kira puncak hanyalah bukit biasa. Karena puncak yang sesungguhnya masih berada di belakang bukit tempat kami menginap semalam. Masya Allah, misterius sekali Sumbing ini. Sehingga ketika hari mulai terang tampaklah puncak yang sesungguhnya masih menjulang tinggi dibalik bukit yang kami lewati. Oleh karena itu, kami subuh di tengah padang ilalang.

Setelah subuh perjalanan pun dilanjutkan. Disinilah kekompakan kami di uji. Farid yang mengejar sunrise dia berlari mendahului kami yang tertatih dibelakang. Dia ingin sekali cepat-cepat samapi puncak. Hasti yang sedkit emosi karena ulah Farid membuat dia harus sabar berkali-kali lipat. Aku dan Osel yang hampir putus asa untuk tak melanjutkan ke puncak. Sempat Hasti dan Osel adu mulut sejenak karena Osel menyuruh kami berdua –aku dan Hasti- duluan karena dia ingin berhenti sejenak dan nggak tahu mau lanjut puncak atau nggak. Sedangkan Hasti ingin semua sampai puncak. Dengan sedikit dongkol, Hasti pun mengajak aku tetap melanjutkan ke puncak.

Mendaki gunung tidak hanya sekedar menikmati keindahan dan sampai puncak. Akan tetapi kebersamaan juga merupakan point penting selama pendakian.

Sebernarnya aku sudah hampir menyerah, tapi melihat Hasti yang begitu menyemangatiku, aku pun kembali semangat melanjutkan perjalanan ini. Apalagi, matahari mulai bersinar, panaroma indah sudah mulai disuguhkan kepada kami. Tampak dibelakang Gunung Sindoro berdiri tegak, padang ilalang kami lewati dengan ceria, dan puluhan edelweiss tampak mekar menyemangati kami. Aku pun mulai semangat kembali, meski keluhan sering aku lontarkan. Harus sampai puncak, batin ku kala itu.
foto semangat sebelum melanjutkan ke puncak :p

Sindoro dari Sumbing, nice :)

Kira-kira pukul 06.30 kami berdua sampai di puncak. Begitu sampai puncak, aku pun menangis tak tertahankan. Sujud syukur aku panjatkan kepada Rabb ku, yang menciptakan Mahakarya begitu indahnya ini. Subhanallah wal hamdulillah. Akhirnya aku bisa menaklukkan puncak Sumbing ini. Meskipun begitu sampai puncak aku tepar. 

tepar sejenak sebelum menikmati puncak :D
perasaan gembira bisa sampe puncak :D
Hasti pun bercerita bahwa gunung Sumbing yang terletak di Jawa Tengah ini merupakan gunung tertinggi ke-3 se-Jawa setelah Semeru dan Slamet, dengan ketinggian 3.371 mdpl. Allah, pekikku ketika Hasti bilang seperti itu. Dia pun menyalamiku dan mengucapkan selamat atas keberhasilanku menaklukan puncak tertinggi ke-3 se-Jawa ini. Sungguh tak mengira puncak pertama yang aku taklukan adalah puncak tertinggi ke-3 se-Jawa. Sujud syukur kembali aku persembahkan pada Rabb ku.
Kadang kita tak pernah mengira, apa yang kita perjuangkan ternyata mempunyai nilai yang lebih, dan itulah bonus dari sebuah perjuangan

Setelah istirahat sejenak, aku pun menikmati puncak dengan seksama. Aku pandangi satu persatu pemandangan indah yang disuguhkan Tuhan kepada hamba-Nya yang mensyukuri segala ciptaan-Nya. Tampak jelas pula Sindoro berdiri tegak diseberang, seakan-akan bilang “Ida kapan-kapan kunjungi aku ya”. Hahahahahaa. 

Deskripsi singkat mengenai puncak Sumbing ini, terdapat kawah nun jauh dibawah yang tergolong masih aktif. Sehingga bau belerang kadang menggelitik hidung kami. Kemudiaan lautan awan bisa kita nikmati seksama. Di puncak ini juga terdapat banyak tebing yang dapat dipanjati. Akan tetapi aku tak memanjat, aku sudah terlalu capek. Hanya Hasti dan Farid yang menaikinya. Sedangkan aku dan Osel hanya foto-foto dibawah. Oya, si Osel akhirnya menyusul kami ke puncak. Dia sampai puncak kurang lebih setengah jam setelah aku dan Hasti sampai puncak.
my tim
Kurang lebih dua jam kami berfoto dan menikmati panaroma puncak Sumbing dengan lautan awan yang indah, pukul 09.00 kami putuskan untuk turun. Biasanya para pendaki kalau turun lari. So, aku pun dia ajari Hasti untuk lari. Awalnya takut, sebab sering kali oleng, sedangkan samping kanan banyak lubang. Walau akhrinya aku keperosok juga. Huuuaaaaa sakit >.< Memar pun menjadi oleh-oleh spesial ini.

Untuk menjadi bisa kadang butuh pengorbanan dan pengorbanan itu kadang menyakitkan tetapi hasilnya memuaskan

Tidak hanya di puncak aku dikejutkan oleh indahnya alam ini. Ketika turun kebawah pun aku disuguhi edelweiss yang bermekaran dengan indahnya, kemudian padang ilalang yang luas serta pohon unik yang berada ditengah padang ilalang. Karena edelweiss nggak boleh dipetik, maka aku hanya mengambil edelweiss yang rontok dibawah. Sebenarnya tetep nggak boleh si mengambil apapun yang ada di gunung, tapi karena pengen yaudah aku cuma ambil yang di bawah, yang penting nggak metik aja. hohohohoho membela diri.

Jangan pernah mengambil apapun yang ada di alam kecuali gambar dan jangan meninggalkan apapun yang ada di alam kecuali jejak
pohon unik ditengah padang ialalang
Sesampai di tenda kurang kebih pukul 11.00, kami istirahat sebentar sambil menikmati tuna kaleng dan oseng jamur. Wowww. Selang beberapa menit Hasti sudah harus turun kebawah, karena takut nggak dapat bus untuk balik ke Bandung. Sedangkan kami bertiga –aku, Farid dan Osel- meneruskan istirahat yang disusul packing. Kurang lebih pukul 14.00 kami segera meninggalkan pos III –yang kemudian diragukan ini pos 3 atau bukan setelah tahu pos ini jauh dari puncak-

Perjalanan turun tak serumit perjalanan nanjak. Tapi tetap aja bagiku masih sulit, ditambah memar yang kubawa dari atas sana. Hampir nyerah lagi sebenarnya –kebanyakan ngeluh ini akunya- tapi tetap berusaha jalan, meskipun tertatih-tatih. Sampai basecamp pukul 18.30.

Di basecamp yang notabene rumah penduduk tersebut kami disuguhi makanan dan minuman. Ya Allah baiknya. Kami tak dipungut biaya sepersen pun. Oleh karena itu sama Farid bapak pemilik rumah disalamin amplop berisi uang dari kami. Awalnya bapaknya nolak-nolak, tapi tetep dipaksa Farid sampai bapak tersebut mau menerima. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar pukul 20.00 kami pun segera pamit dan melanjutkan perjalanan ke Jogja.

Akhirnya, usai sudah petualangan pertamaku mendaki gunung. Pulang-pulang semua badan dari atas sampai bawah pegel nggak kira-kira. Muka kering dan bibir pecah-pecah. Duuuh, jadi macam badut ini muka -,- Tapi semua itu terbayar dengan rasa puas, senang dan bahagia. Ternyata mendaki gunung itu bikin nagih, sejuta rasa pendakian pertama ku ini. So, tunggu pengalaman saya selanjutnya. (=^.^=)

No comments:

Post a Comment