Wednesday, June 5, 2013

Tentang Waisak

Waisak merupakan hari suci umat agama Buddha, dimana dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei saat bulan purnama. Perayaan Waisak ini memperingati tiga hal, yaitu lahirnya Siddharta, pencapaian Agung Siddharta, dan kematian Siddharta. Tiga peristiwa tersebut dinamakan Trisuci Waisak. Di Indonesia, secara tradisional perayaan Waisak dilaksanakan secara terpusat di komplek Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.



patung Buddha
 Rangkaian acara Waisak secara pokok adalah :
1.     Pengambilan air berkat dari mata air (umbul) Jumprit di Kabupaten Temanggung dan penyalaan obor menggunakan sumber api abadi MrapenKabupaten Grobogan.
2.     Ritual "Pindapatta", suatu ritual pemberian dana makanan kepada para bhikkhu/bhiksu oleh masyarakat (umat) untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan kebajikan.
3.     Samadhi pada detik-detik puncak bulan purnama. Penentuan bulan purnama ini adalah berdasarkan perhitungan falak, sehingga puncak purnama dapat terjadi pada siang hari.
Selain tiga hal tersebut juga terdapat pawai, pradaksina dan acara kesenian seperti penerbangan lampion dll.

Mengapa saya ingin menuliskan tentang Waisak? Karena pada perayaan Waisak 2013 (25 Mei 2013) ini saya turut menyaksikan acara tersebut. Tapi hanya pada acara penutupan saja. Jujur, saya memang penasaran dengan penerbangan lampion pada upacara Waisak. Oleh karena itu, pada saat penutupan acara Waisak saya datang ke komplek Candi Borobudur guna menyaksikan penerbangan lampion tersebut.

Ini pertama kali saya menyaksikan perayaan suci agama Buddha. Simpel aja sih, saya hanya ingin melihat lampion diterbangkan. Tapi sepertinya malam ini bukanlah hari keburuntangan saya untuk melihat lampion diterbangkan. Sebab malam itu Magelang dan sekitarnya diguyur hujan yang amat sangat deras. Akan tetapi saya tidak menyesal lampion tersebut tidak jadi diterbangkan. Bahkan saya juga tidak menyesal hujan-hujannan di komplek candi tersebut.

Kenapa? Ternyata banyak sekali orang-orang yang ingin melihat penerbangan lampion dengan cara yang kurang sopan. Ketika para umat Buddhis berdo'a banyak orang yang memotret dari jarak dekat. Bahkan ketika para umat Buddhis sedang melakukan pradaksina (keliling candi sebanyak tiga kali) banyak pengunnjung memasuki altar untuk foto-foto. Sehingga panitia harus teriak-teriak meminta mereka turun dari altar.

riuh pengunjung non Buddhis di karpet merah
Saya bisa menyaksikan semua itu, karena saya dan teman saya berdiri tepat dibelakang altar. Ya, saya dan teman saya tak sengaja duduk dikarpet merah tempat para umat Buddhis non Biksu yang datang untuk berdo’a. Jujur saja, andaikan saya tahu karpet merah itu untuk para umat Buddhis yang datang untuk berdo’a, saya pasti tidak akan duduk ditempat tersebut.

Kekhusyukan umat Buddhis pastinya terusik kala itu. Bahkan ketika upacara penutupan yang dihadiri mentri agama Surya Darma Ali berlangsung riuh seakan berperang terhadap hujan. Belum lagi ketika para Biksu sedang berdo’a masih aja ada fotografer alay yang mengambil gambar mereka dari dekat. Saya jadi berfikir, dikala saya shalat ied tiba-tiba saya dijepret dari jarak dekat atau tepat didepan saya judud, apa kata hati saya? Kesal bukan main pastinya. Saya yakin itu yang dirasakan mereka saat itu.

Adalagi yang heboh. Ketika diumumkan panitia bahwa lampion batal diterbangkan akibat hujan yang masih lebat, banyak pengunjung yang kecewa bahkan bersorak ramai. Dan saya? Justru nggak kecewa. Hujan semalam membuat kita sadar, bahwa kedatangan kita –non Buddhis- di Borobudur tidak hanya sekedar menonton lampion dan lomba foto sana-sini. Tapi lebih dari itu. ini adalah upacara suci salah satu umat beragama, warisan leluhur yang pernah Berjaya di Indonesia pada jaman kerajaan Kutai. Seharusnya kita lebih menghargai mereka. Jika memang ingin melihat prosesi upacaranya ya dengan cara yang wajar, sesuai dengan aturan yang berlaku. Minimal mengambil foto dari jarak yang tak menggangu mereka, minimal diam ketika mereka berdo’a, minimal tertib dan menjaga perilaku hingga acara selesai. Toh selepas acara panitia juga memperbolehkan pengunjung untuk mengambil gambar di altar. Saya pun begitu, minta tolong teman untuk berfoto ketika acara telah selesai.

aku ditengah kerumunan
Perlu diketahui juga, mereka para Biksu bukan tontonan yang sedang konser sehingga harus ditonton dari jarak dekat. Mereka juga bukan barang antic yang perlu dijepret sana-sini untuk dipamer-pamerkan. Pliss, mereka sedang berdo’a, sama seperti halnya orang Idul Fitri, Natalan dan Nyepi.



Ya, ini nasihat untuk kita semua, terutama untuk diriku sendiri. Bagaimana cara kita bersikap mengikuti upacara adat suatu umat beragama dan bagaimana kita menghargai prosesi mereka. (=^.^=)

No comments:

Post a Comment