Saturday, September 27, 2014

Gelem Jamure, Emoh Watange

Belakangan ini, saya sedang asyik belajar mengenai budaya Jawa. Selain karena saya orang Jawa, bagi saya budaya itu unik sekali. Sangat disayangkan jika kita tidak mau mengenal budaya sendiri. Tak kenal maka tak sayang. Bagaimana mau mencintai negeri sendiri, jika tidak mengenalinya dengan baik.

Salah satu budaya Jawa yang menarik buat saya adalah paribasan Jawi, atau peribahasa Jawa. Peribahasa atau pepatah merupakan suatu kalimat atau frasa yang mengandung ungkapan nasihat. Peribahasa Jawa berarti kalimat atau frasa yang mengandung ungkapan nasihat dalam bahasa Jawa.

Bagi saya, paribasan Jawi ini memiliki makna yang mendalam dan filosofis. Dia tidak hanya sekedar kalimat atau frasa yang bermakna harfiah saja. Tetapi harus dipahami secara mendalam untuk benar-benar memahami maksud dari ungkapan tersebut. Contohnya saja paribasan : gelem jamure emoh watange.


Secara harfiah gelem artinya mau, jamure adalah jamurnya (tanaman jamur), emoh adalah tidak mau, dan watange bisa diartikan batangnya, kulitnya atau bangkainya. Jika di sambung berarti ‘mau jamurnya, tidak mau batangnya’. Sedangkan secara makna memiliki arti seseorang yang hanya mau enak-enakan tanpa harus melakukan sesuatu.

Paribasan ini mengingatkan sebuah kejadian pada tahun 2013 ketika saya sedang mendaki gunung. Waktu itu dalam kelompok kami terdapat tujuh orang. Tiga perempuan dan empat laki-laki. Sudah disepakati di awal, bagaimana pun keadaannya kami harus bersama dan saling bekerja sama.

Tibalah kami di tempat kemah. Sudah dibagi tugas jika yang laki-laki mendirikan tenda dan yang perempuan memasak. Entah mengapa salah satu teman perempuan di kelompok kami ini dari awal berangkat sudah bad mood. Kalau bahasa gaulnya BT. Sehingga ketika tenda berdiri dia langsung masuk tenda dan tidak membantu kami untuk masak. Kami semua maklum saat itu. Mungkin dia kecapekan sehingga tidak memungkinkan membantu kami masak.

Sehingga ketika dia bergabung saat makan ya kami biasa saja. Kami anggap ini sebagai bentuk saling pengertian di antara kelompok. Kalau ada yang sakit ya kami toleransi untuk tidak melakukan hal-hal berat. Setelah makan dia sepertinya sudah sehat. Oleh karena itu kami meminta dia untuk membersihkan peralatan makan yang kotor. Karena sudah malam dia meminta untuk membereskan besok saja.

Keesok harinya saat kami akan masak lagi dia belum membersihkan peralatan tersebut. Lagi-lagi, kami yang membereskannya. Saat itulah kami curiga dia memang tak mau bekerja sama. Lalu oleh ketua tim kami dia di nasihatin untuk saling tolong menolong. Sehingga pagi itu dia mau membantu memasak.

Ternyata nasihat teman kami ini hanya angin lalu untuk dia. Ketika pendakian kami sampai pada klimaks, yaitu menuju puncak. Teman saya itu tidak ikut. Alasannya takut nggak kuat. Karena banyak rombongan lain yang saat itu berada di sekitar tempat kemah, kami berani untuk meninggalkan dia di tenda. Sebab, kami naik puncak pukul 01.00 dini hari.

Kami memberi pesan ke dia untuk menjaga tenda baik-baik. Kalau tidak keberatan kami meminta dia untuk sedikit membereskan tenda dan mencari air. Juga berharap nanti ketika kami semua turun dia mau memasakkan untuk kami. Dia pun mengangguk sambil mengantarkan kepergian kami menuju puncak.

Malang tak dapat di tolak. Pagi itu kawasan gunung tempat kami mendaki ‘dikunjungi’ hujan. Tidak deras tapi cukup membuat kami basah. Sehingga, setelah matahari terbit kami berbondong-bondong untuk turun. Sampai tempat kemah kurang lebih pukul 09.00 pagi. Kami berharap sampai bawah teman kami ini menghidangkan segelas teh untuk menghalau dingin akibat basah kuyupan hujan.

Tetapi hanya angan belaka jika sampai tempat kemah kami mendapat sambutan baik. Sebab, begitu sampai tempat kemah tenda kami bocor dan banyak barang yang basah. Air untuk masak tidak ada. Otomatis segelas teh pun tak ada. Dan teman kami itu, asyik-asyik tiduran didalam tenda.

Sungguh, rasanya ingin marah saat itu juga. Saat kami ajak dia untuk mengambil air dia menolak dengan alasan kakinya sakit. Akhirnya kami kembali disibukkan oleh banyak hal. Beberapa teman kami mengambil air, ada yang menjemur barang yang basah dan ada yang memanaskan air dengan persediaan air seadanya. Padahal kami semua capek setelah turun dari puncak.

Kami semua bekerja. Hanya dia yang ogah-ogahan. Duduk santai di samping teman yang lagi memasak. Benar-benar gelem jamure  emoh watange ini teman saya. Maunya enak-enak saja. Nggak mau kerja dan pengertian dengan teman kelompoknya. Semoga teman-teman semua tidak memiliki sifat seperti teman saya ini. Mau enak tapi nggak mau susah. Jadi kalau kerja tim harus saling tolong menolong ya.


Oya, tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati. Semoga bermanfaat. Terimakasih.


2 comments: