Candu
itu minta penawar. Setelah terlena dengan keindahan Semeru yang tak pernah
bosan untuk diceritakan, akhirnya rasa ingin menikmati alam kembali membuncah.
Ingin rasanya kaki ini segera melesat kembali menapaki bukit-bukit tinggi yang
semakin menjulang menembus awan. Bersapa dengan pohon-pohon nan rindang dan
nuansa keindahan alam yang tak pernah bosan untuk dipandang. Ingin sekali.
Kecanduan, untuk apapun itu, pasti bakal
diperjuangkan, termasuk kecanduan menikmati alam
Bersahabat
dengan alam membuat kita kaya. Kaya akan ilmu, kaya akan pengalaman dan yang
paling penting adalah kaya akan teman. Sehingga, tak diragukan lagi jika
bersahabat dengan alam ini menjadi sebuah candu untuk jiwa-jiwa yang tengah
merindu pada kedamaian alam.
Sahabat
alam kali ini adalah gunung Prau. Gunung yang terletak dikawasan perbatasan
Wonosobo, Banjarnegara dan Batang. Tidak jauh dari kawasan wisata dataran
tinggi Dieng. Sebenarnya sudah lama sekali kesananya, kalau tidak salah 3-4
November 2013. Tepatnya 3 bulan setelah perjalanan Semeru. Tapi baru sempat
menuliskannya sekarang. Hohohoho.
Kali
ini bersama dua teman kenalan waktu acara Tracking Semeru Indonesia (TSI).
Mereka adalah Wisnu dan Ito. Dua bocah yang ternyata adek-adek kelasku di
kampus, tapi beda jurusan. Sebenarnya aku sudah hampir membatalkan trip ini.
Karena beberapa hari sebelumnya sakit. Tapi karena udah pengen pake banget
nanjak gunung. Jajaki deh. Toh menurut informasi gunung Prahu ini katanya
treknya mudah dengan ketinggiannya dibawah 2500 mDpl dan waktu tempuh mencapai
puncak kurang lebih 2-3jam. Oke, nanti kita buktikan kemudahannya.
Ini
adalah pertama untuk kami naik Prahu. Rencana kamu naik melalui jalur kawasan
Dieng. Sebenarnya, jalur Dieng ini jalurnya lebih panjang daripada jalur
Bantengan (dekat Pasar Bantengan). Tetapi menurut informasi dari Om Topik
(teman Wisnu) jalur melalui Dieng lebih mudah dan landai daripada melalui
Bantengan.
Kami
bertiga berangkat dari rumah Ito di Magelang siang hari. Sampai dikawasan Dieng
kurang lebih pukul 2 siang. Sampai disana kami segera kerumah Om Topik untuk
istirahat sebentar dan menitipkan motor. Rencana awal kami mulai mendaki
sehabis ashar, karena ingin melihat sun
set. Akan tetapi ketika baru berjalan sebentar dari rumah Om Topik
tiba-tiba hujan deras. Dan kita nggak bisa kemana-kemana selain berteduh
dipelataran rumah orang. Macam gembel aja kami bertiga ini -_______________-“
Hampir
3 jam kami menggembel diteras orang. Macam orang bego. Huh. Setelah hujan
sedikit reda (masih gerimis sedikit) kami memutuskan untuk kembali kerumah Om
Topik. Sehingga rencana mendaki diubah pukul 10 malam. Yeaaahh, bisa tiduran
sebentar ini. Tapi cuma aku dan Ito yang tidur, soalnya Wisnu ngobrol sama Om
Topik. Hehehe, maap ye Wis, kita leha-leha dulu :p
Pukul
10 malam, kami mulai mendaki. Diantar Om Topik sampai jalur pendakian. Malam
itu cerah sangat. Bahkan bintang-bintang pun mulai menunjukkan dirinya. Keren. Tapi,
angin berhembus kencang. Membawa dingin yang sampai menusuk-nusuk. Nggak
main-main cuy si angin ini datangnya, kami pun harus berjalan sempoyongan.
Saking kencangnya, sampai-sampai menimbulkan bunyi yang ngeri.
Jalur
pendakian melalui Dieng ini dimulai dari melewati kuburan. Alamaaakk kenapa
ngeri begini. Kami bertiga pun jejer-jejer jalannya saking kagetnya ketemu
kuburan yang luas banget itu. Hahahaha, penakut juga kalian berdua. Lalu mulai
lah jalan menanjak. Pertama-tama melalui pematang sawah. Kemudian mulai masuk
hutan. Jalanan memang landai. Tidak terlalu menanjak yang kurang ajar. Cuma
ngeri aja, ketika masuk hutan mendengar bising pohon-pohon yang tertiup angin.
Hampir
2 jam perjalanan sampai lah kami di Pemancar. Kata Om Topik, kalau sudah sampai
pemancar berarti sudah hampir sampai di puncaknya. Setelah tugu pemancar kita
akan melewati bukit-bukit. Jadi medan yang akan ditemui
nanjak-datar-turun-datar-nanjak lagi, datar lagi dan seterusnya. Nah, setiap
kami melewati dataran setelah tanjakan berarti posisi kami berada di atas
bukit. Saat itu juga kami harus merasakan badai dan kencang. Dengan bunyi yang
bising dan ngeri menambah ketakutan kami bertiga. Setiap anginnya kencang, kami
pun terpaksa harus duduk sembari bergandengan tangan. Karena kalau jalan pun
pasti akan sempoyongan dan hampir jatuh. Sedangkan kanan kiri jurang.
Kalau
dirasa angin sudah tidak kencang lagi kami lanjut jalan lagi. jangan di
bayangkan kalau angin tidak kencang tu kami aman. Tetep aja jalan kami
sempoyongan, sehingga kami jalan pun bergandengan tangan. Hahaha, geli kalau
inget, macam kereta api aja :D setelah melalui bukit-bukit kami akan bertemu
dengan bukit telubbies. Jalanan datar dengan kanan-kiri bukit-bukit. Alhamdulillah
ada penangkal angin juga. Jadi kami bisa berjalan dengan bebas meski suara
angin masih meraung-raung.
Kurang
lebih tiga jam perjalanan (kira-kira hampir pukul 12 malam) angin semakin
kencang. Sepertinya mereka enggan bersahabat dengan kami. Padahal masih 2 bukit
lagi yang harus kami lewati untuk menuju puncak Prahu ini. Oleh karena itu,
kami pun memutuskan untuk ngecamp saja.
Jangan
dikira mendirikan tenda ditengah angin kencang itu mudah. Tiap kali mau
didirikan pasti goyang-goyang. Sampai-sampai frame tenda milik temanku hampir
patah saking nggak kuatnya nahan angin. Setelah tenda berdiri, kami pun segera
masuk tenda. Lupakan soal masak memasak. Tidur adalah kegiatan terindah
sepertinya. Meskipun angin masih meraung-raung seperti ingin menerkam. Baru
kali ini aku berada ditenda dengan goncangan angin yang dahsyat. Berdo’a terus
agar si tenda kuat menahan angin yang nakal tersebut.
Pukul
05.00 kami pun terbangun. Daaaaann, angin masih saja teriak-teriak, masih saja
kenceng. Jadi kami melihat sun rise
dengan sedikit merinding. Setelah sedikit mengisi perut kami pun segera
beranjak pergi dari tempat kami ngecamp. Karena khawatir angin semakin kencang.
sindoro, sumbing, merapi, merbabu, lawu dan ungaran |
Pukul
07.00 kami telah jalan kembali. Mampir di salah satu bukit teletubis untuk
mengabadikan beberapa gambar. Subhanallah, indahnyaaaa. Sindoro, Sumbing,
Merapi, Merbabu terlihat jelas. Bahkan Ungaran dan Lawu pun juga nampak. Di bagian
Barat Slamet pun tak kalah menunjukkan kegagahannya. Semua begitu indah dan tak
bosan dipandang mata. Tak sia-sia kami semalaman melawan angin, karena pada
akhirnya hadiah Allah lebih indah.
slamet |
bersama Wisnu dan Ito |
tampak telaga warna |
bukit teletubbies |
Mencintai alam seperti aku mencintai Tuhanku. Karena
Dialah, aku jatuh cinta terhadap apa yang diciptakan-Nya.
Setelah
puas foto-foto, kami pun segera turun dengan perasaan gembira. Dan benar dugaan
kami, begitu kami turun kawasan Dieng menjadi gelap. Suara petir
menyambar-nyambar. Sehingga rencana kami untuk mampir di Telaga Warna, Candi
Arjuna dan Kawah Sikidang gagal. Karena dipastikan hujan pasti akan segera
turun.
Setelah
istirahat kurang lebih 1 jam ditempat Om Topik, kamipun segera pamit. Tapi bukan
pamit pulang ke Jogja sodara-sodara. Tapi mau mendaki lagi ke Sindoro. Hahaha,
sok-sokan yaa. Tapi begitu sudah mendekati basecamp Sindoro yang melalui Tambi
(kebun teh) kami mengurungkan niat. Cuaca di Sindoro juga tak begitu bagus
siang itu. Gelap, seperti mau turun hujan. Sehingga kami pun pada akhirnya
pulang ke Jogja (=^.^=)
17 Maret 2014 (LatePost)
No comments:
Post a Comment