Tuesday, April 23, 2013

Perjalanan ke Barat : Awal Mula Ngebolang.

Ini adalah kali pertama aku ngebolang sendirian ke kota orang, tepatnya pada November 2010 saat erupsi Merapi. Ya, saat itu kampusku tercintah meliburkan diri selama dua minggu karena kondisi Jogjakarta saat itu tidak kondusif untuk belajar akibat meletusnya Merapi. So, tanpa buang-buang waktu, aku putuskan untuk meninggalkan Jogjakarta untuk mencari kedamaian ke Barat. Bandung dan Jakarta pilihanku saat itu. Memang ini bukan pertama kali aku maen ke Bandung atau Jakarta, tapi untuk perjalanan sendirian ke dua kota itu, ini baru pertama kalinya. Alasanku simpel, karena di dua kota itu aku punya kenalan dan saudara. Jadi tanpa buang-buang waktu segeralah aku memesan tiket kereta api untuk perjalanan ke Barat untuk mencari kitab suci, eh salah mencari kedamaian, hehehe. Dengan rute pertama Bandung.


Sendirian? Mungkin banyak orang tak percaya, aku melakukan perjalanan sendirian ke kota orang, naik kereta api, sendirian pula. Mungkin karena aku orang yang lahir, besar dan hidup sampai sekarang ini di Jogjakarta, menjadikanku teragukan untuk melancong sendirian, dengan alasan aku tak pernah keluar dari Jogjakarta. Justru karena aku orang Jogjakarta yang sudah hidup tahunan di Jogjakarta itulah yang menjadikanku ingin sekali melancong ke kota orang. Ingin merasakan euphoria kehidupan kota lain yang belum pernah aku cicipi.

Hidup seperti roller coaster, penuh tantangan. Beberapa orang takut, beberapa orang menikmatinya.

Perjalanan berawal dari stasiun Tugu Jogjakarta. Malam yang dingin pun turut menghantar kepergianku meninggalkan Jogjakarta menuju ke Barat. Ini kedua kalinya aku bepergian dengan kereta sendirian, yang pertama saat aku dari bandung juga, pas main kerumah teman. Tapi ini juga menjadi perjalan naik kereta api sendirian pertamaku meninggalkan Jogja dan pertama kali naik kereta ekonomi. Ya, aku menaiki kereta ekonomi dengan dalih biar ngirit dan pengen banget ngrasain naik kereta api ekonomi, jadi sudah bisa ditebak, banyak sekali penjaja ‘nyanyi’ disepanjang gerbong. “mijoonn.. mijooonn….” “tisu basah..tisu kering.. tisu tisuu…”, hahahhaa, aku hanya tertawa mendengarkan logat mereka menjajakan dagangannya. Hal yang tak pernah kutemui saat menaiki kereta eksekutif.

Mataku tak bisa terpejam, suasana riuh selalu menjadi penghalang tidurku. Namun ada juga orang bisa terlelap ditengah keramaian tersebut. Enaaakknya yang bisa tidur. Disaat aku mulai lelap, tiba-tiba ada sedikit keributan di beberapa bangku depanku. Kalau tak salah dengar mereka rebutan kursi. Maklum di tahun 2010 dulu, belum ada pemberlakuan satu orang satu kursi. Sehingga orang tanpa tiket kursipun masih bisa menaiki kereta api dengan tulisan ditiket ‘tanpa kursi’. Sebab pemberlakuan tiket kereta ekonomi satu orang satu kursi baru diberlakukan pada awal 2011. Uugggghhhhhh, sedikit nyesel kenapa aku pake kereta ekonomi.

Tepat pukul 09.00 pagi sampailah sudah saya di stasiun Hall Bandung. Waktu itu aku dijemput oleh mbak kos Hasti –adek angkatanku SMA yang kuliah di ITB-. Kala itu adalah pertama kalinya aku naik angkot. Sungguh ‘ndeso’ atau ‘ngota’ ya, senengnya bukan kepalang naik angkot. Sampai sampai kalo ke Bandung keasyikan naik angkok. Maklum, di Jogja kagak ada angkot cuy, hehehehe.

Selama di Bandung, jelas sudah mainnya ke Mall, Factory Outlet, atau ke pasar baru, soalnya dulu belum kepikiran buat naik gunung dan main-main di alam sih. Hahahahaa. Terus ikutan Hasti kuliah di ITB. Huaaaa, jadi keinget mantan. Mantan ada nggak yaaaaa… hihihihi. Oh ya, ada yang unik lho di ITB ini. Kalau temen-temen main ke ITB, coba deh perhatikan dari awal gerbang hingga akhir, pasti simetris. Jadi dari gerbang utama ITB masuk ke area ITB, kanan dan kiri ITB terdapat gedung yang sama, letak pohon yang sama –meski ukurannya berbeda- , letak tempat duduk dan tempat sampah yang sama pula. Simetris pokoknya mah. Terus ditengah-tengah jalan tersebut, terdapat semacam kolam ikan –tapi waktu aku kesana nggak ada ikannya- yang didasar kolam tersebut tersusun keramik alas kolam not tangga lagu. Kata Hasti itu not tangga lagu Indonesia Raya. Wooowwwwww keren banget, udah tatanan letaknya simetris, sepanjang jalan di hiasi kolam not tangga lagu pula.
gerbang masuk ITB
Di Bandung aku cuma dua harian. Setelah itu aku lanjutkan perjalanan ke Jakarta. Dari Bandung ke Jakarta aku naik kereta lagi. Kebetulan ada kereta promo Argopahrayangan yang baru dibuka sebulan lalu. Jadi dapet tiket bisnis seharga Rp 15.000 untuk ke Jakarta –yang eksekutif habis guy, mungkin saking murahnya- yang amat sangat nyaman. Maklum kereta baru, jadi masih ‘waras’. Makasih Argopahrayangan :) –kalo sekarang harga tiketnya berapa yaaaa- 

Di Jakarta aku menemui teman yang belum pernah aku temui –lhoh- Ya, dia adalah mantan pacar temenku, dan kami kenalan lewat jejaring sosial bernama FB, dan berlanjut dalam obrolan SMS. Awalnya aku ragu, ketemu dengan orang yang belum kenal banyak, di Jakarta pula. Padahal di Jakarta aku juga punya banyak temen dan juga saudara. Ntah kenapa aku begitu pengen ketemu perempuan cantik itu dan percaya dia orang baik, dan ternyata dia memang orang baik. Begitu kami bertemu, ternyata dia orangnya friendly banget. Alhamdulillah. 

Setelah ngobrol sebentar di stasiun Gambir kami pun menuju salah satu stasiun kecil di Jakarta. Jadi stasiun kecil ini untuk trayek kereta api seperti halte bus sebagai angkutan umum disamping angkot, bus dan trans Jakarta. Ketika ditanya teman mau naik ojek, taksi atau bajaj ke stasiunnya, aku langsung dengan semangat minta naik bajaj. Maklum, biasanya di Jakarta naiknya motor atau mobil dirumah saudara. Sungguh itu pengalaman pertama naik bajaj, biasanya cuma liat di TV di sinetron Bajaj Bajuri, kini aku bisa merasakan naik Bajaj. Brumm.. brummm.. brummm. Jujur rugi banget ke Jakarta nggak nyobain bajaj. Hahahaha.

Sambil naik bajaj sambil menikmati suasana malam Jakarta, sambil pula melihat Monas. Begitu sampai di salah satu stasiun –lupa nama stasiunnya- kembali aku dibuat tercengang. Pertama, harga tiketnya murah banget, kalo nggak salah untuk ekonomi Rp 1.500 dan Rp 2.500 untuk ekonomi AC –tahun 2010 lhoh- . Kedua, banyak sekali peminatnya, karena kata temen lebih cepat naik kereta daripada naik bus atau trans –jadi inget Kenji di film Ninja Hatori kalo sekolah naik kereta- sehingga didalam kereta jelas banget desak-desakannya, bahkan ada yang nekat diatas gerbong saking penuhnya didalam gerbong. Terus yang ketiga, berhenti disetiap stasiun cepet banget, jadi kalo uda mau turun wajib mingggir biar nggak bablas distasiun berikutnya. Gilak, gilak, dan gilak batinku kala itu. Kata teman ini baru salah satu bentuk kejamnya Jakarta -,- nggak tahu aturan dan menghalalkan segala cara.
  
gambaran kreta angkutan umum di Jakarta
Sungguh, ibukota nan megah itu terlihat sangat berbeda jika dilewati lewat jalanan umum –biasanya naik mobil lewat tol guys- tampak sekali berbeda. Dibalik anggunnya gedung tinggi, dibalik megahnya lampu hotel, dan dibalik mewahnya ornament jalanan, ternyata masih banyak hal yang ‘biasa’ saja. Tidak ada mobil mewah, tapi motor dan sepeda. Tidak ada rumah mewah, tapi rumah sederhana dan biasa saja. Hal ini terlihat ketika aku mulai memasuki kawasan kontrakan temenku tersebut.

Kawasan yang biasa saja, bukan komplek atau perumahan. Ketika aku tanya sewa kontrak pertahunnya, alamaak, di Jogjakarta bisa buat sewa kontrakan yang rumahnya mewah abis. Sedangkan di Jakarta, hanya dapat rumah biasa saja, bahkan tanpa alas keramik hanya tegel biasa. Sungguh kini aku mulai merasakan begitu kejamnya Jakarta. Begitu pula ketika aku berada dirumah saudaraku. Kawasan rumah ‘biasa’ saja dibalik apartemen mewah jalan Sudirman. Sungguh ironis.

Perjalanan selanjutnya, aku diajak temanku main ke TMII –Taman Mini Indonesia Indah- karena yang paling dekat dengan kontrakan temanku. Awalnya mau diajak ke Mall, tapi aku udah mabok Mall di Bandung cuy –walau nanti akhirnya mampir Mall juga- jadi mending main ditempat yang lainnya. dan dibawah ini foto-foto di TMII :
sepedaan di TMII

depan rumah adat Lampung
rumah adat Sulawesi Selatan
Ini juga pertama kali aku naik angkot di Jakarta. Beda sekali dengan Bandung, angkot Jakarta lebih barbar, rebutan penumpang dan nyetirnya ngawur. Bahkan kendaraan di Jakarta nggak tolerir sama pejalan kaki. Saat kami nyebrang, hampir saja ditabrak. Ohh semakin terasa kejamnya Jakarta.

Sesuatu yang baik, belum tentu benar.
Sesuatu yang benar, belum tentu baik.
Sesuatu yang bagus, belum tentu berharga.
Sesuatu yang berharga/berguna, belum tentu bagus.

Tak selamanya yang kita anggap indah itu indah, tak selamanya pula yang kita anggap buruk itu buruk. Ya, Jakarta sang Ibu Kota Negara yang selalu kita lihat kemewahan dan keindahannya ternyata dibalik itu masih ada perjuangan hidup yang banyak dilakukan banyak orang. Dari para penjaja, sopir angkot, tukang bajaj dll. Tak sedikit dari mereka bukan warga Jakarta, mungkin saja mereka perantau yang mengadu nasib di Ibu Kota yang nasibnya belum beruntung. Bekerja dengan keras hanya untuk bertahan hidup, karena ada sebagian dari mereka yang malu untuk pulang kampung karena belum jadi orang kaya. Diiihh gengsi amat sih.

Kadang aku bersyukur, aku bisa hidup ditengah-tengah Jogkarta yang selalu memberikan nuansa kerinduan. Ya ampuunn aku merindukan suasana Jogjakarta, merindukan rumahku, dan apa-apa yang ada di Jogjakarta, bisikku dalam hati ketika menjelang hari terakhir aku di Jakarta. Begitu meninggalkan stasiun Pasar Senen untuk kembali ke peradaban Timur, aku pun berdo’a semoga Jogjaku telah aman. Berdosa sekali aku, Jogjaku berduka akunya main-main. Padahal banyak teman yang bergerilya menjadi relawan bencana erupsi merapi. Maafin aku Jogjaa…. >.<

Dan inilah sekelumit ceritaku dari Barat yang menjadikan awal aku ngebolang.

Perjalanan seribu batu bermula dari satu langkah - Lao Tze

Where the next destination???? Follow me. (=^.^=)Molmol

No comments:

Post a Comment