Saturday, November 30, 2013

Perjalanan hati #Sagarmathamovie



Tak selamanya kita membeli buku karena menemukan buku tersebut, akan tetapi buku yang menemukan kita untuk dibeli….

Pernyataan diatas merupakan pengalamanku ketika ada sebuah buku mencuat diantara tumpukan buku yang merayu mataku untuk dilihat. Buku itu seakan ingin dibeli olehku. Nadrenaline : Catatan Petualangan Nadine Chandrawinata, judul buku tersebut. Dari judulnya sudah terlihat bahwa buku tersebut karya Nadine Chandrawinata, Putri Indonesia 2005. “Nadine bikin buku petualangan?” pikirku saat itu. Maka berpindahlah buku itu dari rak ke tanganku. Tanpa pikir panjang, setelah membaca sedikit sinopsisnya aku pun segera pergi kekasir dan segera membayarnya. Mungkin ini pertama kalinya aku membeli buku tanpa ‘ngincer’ sebelumnya, beli secara tiba-tiba tanpa direncanakan. Mungkin karena ada kata ‘petualangan’ yang membuatku tertarik, karena saat itu darah petualanganku lagi berdesir-desirnya, hohohoho. 

Oh ternyata kak Nadine suka petualangan ya. Tapi disini aku tak membahas secara lebih isi buku kak Nadine, karena tulisanku ini memang bukan untuk membahas isi buku tersebut. Akan tetapi karena buku tersebut saya jadi menanti film ‘Sagarmatha’ yang diceritakan kak Nadine disalah satu bagian buku ‘Nadrenalin’ itu. Dimana didalamnya kak Nadine cerita dia melakukan syuting untuk sebuah film berjudul ‘Sagarmatha’ di India dan perbatasan Nepal, tepatnya di Pegunungan Himalaya. Salah satu gunung impian yang ingin aku daki. “oh kayak apa yaa filmya” batinku saat itu.

Sama halnya saat membeli buku ‘Nadrenaline’, aku pun menonton film ‘Sagarmatha’ juga seperti terpanggil dari film tersebut. Karena, aku membeli buku ‘Nadrenaline’ sudah akhir 2012 lalu, sehingga aku pun lupa untuk menanti ‘Sagarmatha’ tersebut. Sehingga ketika ‘Sagarmatha’ akan dirilis di bioskop, saya pun merasa terpanggil untuk menonton film tersebut. Dan aku pun baru ingat jika itu adalah film yang aku nantikan setelah selesai membaca buku ‘Nadrenaline’. Seakan-akan buku dan film ini janjian buat merayuku, hahahahhaaha

Buku 'Nadrenaline' kak Nadine :)

Nah, film ‘Sagarmatha’ ini unik sekali kawan. Begitu kesanku ketika selesai menonton film tersebut. Kalian jangan membayangkan akan menonton film dengan berbagai macam adegan, dialog, dan banyak pemain yang terlibat. Kalian juga jangan membayangkan akan menonton film seperti film pada umumnya. ‘Sagarmatha’ ini berbeda. Ditonton harus pakai hati. Karena jika tidak, aku yakin seyakin yakinnya, komentar kalian akan film ini adalah film nggak jelas. Tetapi justru itulah seninya film yang hanya di bintangi dua orang kakak cantik, kak Nadine Chandrawinata dan kak Ranggani Puspandya.

Kalian juga jangan berfikiran jika ini adalah film pendakian, karena adegan pendakian dalam film ini sedikit sekali, hanya beberapa kilas saja. Ini film tidak hanya pendakian semata, Pendakian ke Himalaya, hanyalah tujuan (impian dan harapan) dari jalannya cerita tersebut. Sedangkan inti dari film ini adalah proses menuju pendakian itu sendiri. Sehingga aku lebih suka mengatakan film ini adalah sebuah film perjalanan hati. Dimana perjalanan ini dikemas dalam rangka pendakian ke Himalaya dengan berbagai macam konflik kehidupan. Sebuah perjalanan pendakian yang tidak hanya untuk menggapai impian dan harapan saja. Seperti yang ditulis dalam sinopsis filmnya, dalam cerita ini ada sebuah konflik yang membawa kita memaknai seputar kehidupan akan cinta dan kedewasaan. 

Mendaki tidak hanya sekedar naik turun gunun, tapi ada hati yang bekerja, ada emosi yang berlaga, dan ada sejuta makna yang berbicara…

Biar kalian tidak bingung, akan aku ceritakan sedikit mengenai isi film tersebut. Dikisahkan dua orang sahabat, Shila yang diperankan kak Nadine dan Kirana yang diperankan kak Ranggani, yang telah bersahabat dari kuliah mempunyai mimpi untuk menaiki Himalaya. Gunung tertinggi sedunia, dengan puncak tertingginya Everest. Sagarmatha sendiri adalah sebutan untuk Everest dalam bahasa Nepal, yang artinya ‘head of the blue sky’. Untuk menggapai impian itu mereka pun menjelajahi India hingga perbatasan Nepal. Sambil menunggu izin pendakian mereka ke Himalaya, mereka berdua pun bikin semacam proyek untuk mereka sendiri. Shila menulis cerpen dan Kirana mengambil gambar kehidupan disana.

Di tengah perjalanan untuk menggapai impian tersebut (menuju puncak Himalaya) munculah konflik antara Shila dan Kirana. Seperti yang dilansir dalam sinopsisnya, pertentangan pun muncul satu persatu. Shila merasa Kirana semakin ambisius untuk menggapai puncak Himalaya, sedangkan Kirana merasa Shila semakin misterius. Sehingga ketika mereka sudah hampir mencapai puncaknya, Shila merasa bahwa sampai puncak Himalaya bukan lah impian yang dia cari. Impian Shila adalah pulang kerumah dan bersama keluarga. Impian ke Himalaya adalah impian masa lalu, bukan impian dia sekarang. Akhirnya Shila pun memutuskan untuk turun dan meninggalkan Kirana.

Meninggalkan Kirana? Eiitsss lebih tepatnya dia tidak meninggalkan siapa-siapa, dia hanya meninggalkan mimpi masa lalunya. Lhoh? Bingungkan? Disinilah klimaks berakhir dan menjawab semua jawaban atas alur cerita yang dibikin maju mundur (menceritakan masa lalu kemudian balik lagi ke masa sekarang). Bahwa pada dasarnya Shila ke Himalaya tidak dengan Kirana, dia hanya sendiri yang ditemani oleh bayang-bayang Kirana. Sebab Kirana telah meninggal beberapa tahun yang lalu saat mereka berdua mendaki Gunung Merapi. Dimana di puncak Garuda (puncak Merapi) saat itu Shila berjanji dengan Kirana akan menggapai mimpi mereka untuk sampai ke Himalaya.

Puncak hanyalah bonus, tujuan sebenarnya adalah kembali kerumah dengan selamat

Cukup bingung juga sebenarnya merangkai cerita film ‘Sagarmatha’ besutan sutradara Emil Heradi tersebut. Film ini sekilas seperti film dokumenter saja, film perjalanan. Dimana film tersebut sangat miskin dialog, bahkan pemainnya pun hanya dua orang saja, kak Nadine dan kak Ranggani. Dengan membawa alur maju-mundur yang membingungkan, seolah-olah film tersebut memang mengajak penonton untuk berfikir dan berimajinasi sendiri. Sehingga lama kelamaan ketika puzzle-puzzle adegan telah terangkai, kita akan faham tujuan dari film tersebut. Jika bingung dan penasaran, tonton aja dibioskop yaa.. hehehehe




Ada dua hal yang aku sukai dalam adegan film tersbut. Pertama, ketika Kirana mengatakan “mengapa kita harus mengikuti aturan masyarakat tentang waktu?”. Ya, dalam kehidupan ini masyarakat selalu mematok seseorang berdasarkan waktu. Dia harus kuliah umur sekian, menikah umur sekian, melakukan ini itu disaat umur sekian dll. Didalam film ini, seakan-akan kita dibukakan sebuah pertentangan bahwa itu bukan tolak ukur seseorang untuk melakukan banyak hal. Benar kan? Karena aku yakin, setiap orang sudah punya serentetan hal untuk dikerjakan dalam hidupnya. Dan orang yang bijak, dia melakukan sesuatu bukan karena patokan umurnya, tapi karena kesiapannya.

Yang kedua, dalam adegan pendakian ketika Kirana mengatakan “jangan takut sendiri, karena pada dasarnya setiap orang akan berjalan sendiri”. Bukankah tercapainya impian kita karena kita sendiri yang meraihnya kan. Toh keputusan yang kita ambil, kita sendiri yang memilih, bukan karena orang lain. Orang lain hanyalah mediator yang dikirim Tuhan untuk memberikan pilihan yang akan kita pilih untuk menjalani kehidupan. Sehingga, pada dasarnya diri sendirilah nahkoda hidup kita ini.
Pada dasarnya setiap orang punya impian, tapi tak selamanya impian yang kita inginkan bukan terbaik untuk kita. Sehingga akan muncul keragu-raguan saat impian itu ada didepan mata. Seperti impian Shila mendaki Hilamaya. Dan, hanya kita sendiri yang dapat memilih, ambil atau tinggalkan. Begitulah sekelumit cerita dari film ‘Sagarmatha’ yang telah aku tonton pada hari kamis 28 November 2013. Semoga saja bisa di ambil manfaatnya. Terimakasih (=^.^=)


NB : Dapat mention dari Kak Nadine dan Kak Angie lhoooo, makasih kakak:


Big thank u "@dikkakistia: Nonton @SagarmathaMovie sama @molydha, inspiring movie @nadinelist :) pic.twitter.com/MSkxwKyVIP"


:) RT @molydha jgn brharap seperti menonton film pd umumnya, nonton #sagarmatha ini kudu pk hati, klo gk, gk akn dpt tujuannya, menurutku
 


Jogjakarta, 29 Novermber 2013

No comments:

Post a Comment